Rabu, 03 Juni 2009

Jangan Main-Main dengan Perempuan!

Cerpen Lan Fang

Malam ini aku sungguh terkejut ketika melihat perempuanku berdiri di depanku. Ia bebas!
"Apa yang kau tulis? Apa kau menulis tentang perempuan lagi?" mendadak saja ia sudah mendelik di depanku.
"Kenapa?" tanyaku acuh tak acuh dengan rasa tidak senang.

Menurutku apa yang akan aku tulis adalah urusanku sendiri. Karena apa yang akan aku tuangkan dalam kata-kata adalah apa yang ada di dalam otak dan kepalaku! Jadi bukan wewenang perempuanku untuk melakukan intervensi terhadap apa yang akan aku tulis.

Jujur saja, aku tidak suka dengan kehadirannya di saat aku menulis. Ia selalu mengusikku dengan segala kenyinyirannya sehingga apa yang aku tulis tidak murni dari jari-jemariku sendiri.

Karena ketidaksukaanku itulah, maka ia kupasung selama lima tahun!
Lima tahun yang lalu, bibirnya yang indah kujahit, gigi geliginya kucabut, dan lidahnya kupotong. Lalu bibirnya yang indah itu, gigi geliginya, dan lidahnya, kusimpan di dalam toples yang berisi air keras. Kuawetkan di dalam toples itu! Tidak hanya itu! Kalau boleh aku meminjam istilah Agatha Christie ketika menggambarkan otak Hercule Poirot adalah "sel-sel kelabu"-nya dan semangatnya kukunci di dalam gudang gelap. Dan rongga matanya yang kerap kali mengeluarkan butir-butir air mata, aku cungkili lalu kubekukan di dalam frezer.

Sehingga dalam lima tahun terakhir ini, perempuanku tidak bisa berkata-kata, tidak mempunyai semangat karena sel-sel kelabu di kepalanya tidak berjalan normal, dan tidak bisa mengeluarkan air mata sama sekali! Ia benar-benar seperti robot. Ia tertawa tetapi tidak bisa menyeringai. Ia menangis tetapi tanpa air mata. Ia tubuh tanpa jiwa. Ia bergerak hanya berdasarkan perintahku ketika aku membutuhkannya untuk menyiapkan segelas kopi untukku. Seluruh roda hidupnya kubuat jalan di tempat.

Setiap hari perempuanku sibuk dengan dirinya sendiri. Ia sibuk mencari mulut yang memuat lidah, bibir, dan giginya, juga memunguti kristal-kristal air matanya di dalam frezer, atau merenda sel-sel kelabu di dalam kepalanya dan menyulam semangatnya yang hilang.

"Apa kau menulis tentang perempuan lagi?" suara perempuanku mengelegar kali ini.
Aku tengadah karena terkejut. Jari-jemariku berhenti menari di atas keyboard tuts-tuts laptopku. Dan aku terperanjat tidak kepalang tanggung ketika aku menyadari perempuanku berdiri di depanku dengan begitu perkasa! Jahitan di bibirnya sudah rentas. Gigi geliginya sudah menjadi taring semua. Dan…lidahnya berapi!

Astaga!
Aku larikan pandanganku ke toples berisi air keras di mana aku mengawetkan organ-organ mulut perempuanku. Semua masih lengkap di dalam toples itu…

"Bah! Kau kira kau bisa memasung mulutku untuk selamanya?" Ia bertanya dengan ketus.
Aku berlari ke gudang gelap di mana aku menyekap sel-sel kelabu otak dan semangatnya. Semua masih ada di tempatnya.

"Kau pikir aku tidak bisa mendapatkan sel-sel kelabu dan semangat baru?" Ia bertanya dengan nada mencemooh.
Aku berlari lagi membuka frezer. Kulihat butir-butir air matanya yang membeku masih menjadi stalagnit dan stalagtit di sana. Tidak ada yang berubah.

"Kau mau aku tidak bisa tertawa dan menangis untuk selamanya kan? Kau kira semudah itu?" Suaranya terdengar sampai di tempat aku berdiri.
"Lalu apa maumu?" kudengar nada suaraku setengah putus asa.

Aku berjalan gontai dengan bahu lesu kembali ke tempat dudukku. Aku merasa seperti ada sebuah bahaya laten yang mengancamku. Naluriku mengatakan bahwa perempuanku sekarang lebih berbahaya dibanding lima tahun lalu.

"Jangan main-main dengan perempuan!!!" jawabnya cepat dan tegas.
"Apa?!"

"Jangan main-main dengan perempuan!!!" Ia mengulangi kalimatnya.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu..."

"Baik. Sekarang giliranmu untuk duduk dan mendengarkan kata-kataku. Tutup laptopmu. Karena aku muak dengan semua tulisanmu yang gentayangan di dunia perempuan. Sekarang aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" perintahnya seperti seorang juragan.

Nah…nah…nah…, inilah salah satu alasan kenapa aku memasungnya lima tahun lalu. Ia benar-benar seperti seorang juragan, seorang boss, seorang atasan, seorang direktur, kalau sudah mengeluarkan kata-kata. Ia perempuan yang bisa membuat kebanyakan orang mengiyakan semua kata-katanya.

Tetapi, tidak aku!
Justru aku adalah orang yang membuatnya mati dari kata-kata. Memasungnya mati dari emosi. Membuatnya tidak peduli dengan dunia sekitarnya. Kusibukkan ia dengan mencari mulut, sel-sel kelabu, semangat, dan air matanya.

Perempuanku mengambil posisi duduk di depanku. Ia pandangi aku dengan matanya yang berapi. Lalu mulai bicara lagi dengan lidahnya yang berapi pula.

"Aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" Ia mengulangi kata-katanya.
"Aku tidak bisa..."

"Harus bisa!" potongnya cepat. "Sudah terlalu banyak dan sudah terlalu lama perempuan dipermainkan dari segala segi. Coba kamu lihat semua iklan di televisi, mulai makanan, sabun, elektronik, pakaian dalam, obat datang bulan sampai obat panu kadas dan kurap, semua memakai perempuan," ia mulai nyerocos dengan intonasi suara yang semakin lama semakin tinggi.

"Itu namanya perempuan mempunyai nilai jual karena indah dan menarik."
"Bah! Perempuan mempunyai nilai jual? Apa maksudnya perempuan itu menarik? Lalu dengan alasan menarik itu kalian, kaum laki-laki, dengan seenaknya saja mempelajari dan membedah perempuan bukan saja secara visual tetapi juga secara riil. Dokter-dokter kandungan mengobok-obok perempuan mulai dari labia mayora, labia minora, saluran falopii, uterus, bahkan menjadikannya kelinci percobaan untuk proses inseminasi, bayi tabung, bahkan mungkin program cloning di kemudian hari, dengan alasan kemajuan ilmu kedokteran."

"Itu namanya kodrat. Karena itu perempuan berharga..."
"Apa katamu?" Ia seperti harimau meradang.
Matanya semakin berapi. Lidahnya semakin membara.

"Perempuan berharga?! Kalau perempuan berharga kenapa undang-undang perkawinan hanya mengatur tentang poligami? Kenapa tidak mengatur tentang poliandri? Kenapa kalau perempuan tidak bisa memberikan keturunan bisa menjadikan alasan bagi laki-laki untuk kawin lagi? Bagaimana dengan laki-laki yang impoten, azospermia, ejakulasi dini, atau apa saja namanya..., bisakah dijadikan alasan buat perempuan kawin lagi? Di mana hukum perkawinan kita menempatkan bahwa perempuan itu berharga?"

"Ah…kau lebih baik menjadi aktivis perempuan dan ikut demo di bundaran Hotel Indonesia saja sambil membawa spanduk besar-besar membela hak asasi perempuan," aku mulai kalah omong.

Nah…nah…nah…, wajar kan kalau perempuanku kupasung lima tahun lalu? Memang semua yang dikatakannya benar dan masuk akal. Tetapi juga benar-benar membuat posisi laki-laki berbahaya.

"Kalian, kaum laki-laki, masih belum cukup puas dengan itu. Semua wartawan koran masih saja menulis tentang perempuan yang diperkosa dengan visum et repertum vagina sobek dan selaput dara rusak, lalu dibunuh, dipotong-potong dan dibuang. Kenapa tidak pernah ada berita seperti ini...hm..." Ia kelihatan berpikir sejenak. "Begini...: Telah ditemukan mayat seorang laki-laki di atas tempat tidur dalam keadaan telanjang dengan bagian-bagian tubuh terpotong-potong, kepala lepas dari tubuhnya, dan menggigit penis yang dijahitkan ke mulutnya sendiri. Bagaimana?"

Huek!
Tetapi perempuanku justru tertawa terkekeh-kekeh sampai air matanya meleleh.

Setelah lima tahun, baru kali ini aku melihat matanya mengeluarkan air mata lagi, bibirnya menyeringai tertawa, dan ada nada suara yang keluar dari labirin tenggorokannya.

Aku tidak tahu apa makna tertawanya. Ia sukakah? Gelikah? Getirkah? Atau mungkin aku terlalu lama memasung perempuanku sehingga aku sendiri tidak mengenal makna tertawanya dan tidak bisa membaca arti air matanya? Aku tidak kenal dengan perempuanku sendirikah?

Sehabis tertawanya yang cukup lama, ia menarik nafas panjang. Mengambil sebatang rokokku di atas meja, menyulutnya dengan lidahnya yang berapi. Ia memang tidak memerlukan korek api lagi karena lidahnya sudah berapi.

"Sekarang, kalian yang mengaku penulis, juga beramai-ramai menulis tentang perempuan. Kalian telanjangi perempuan di atas kertas sampai tidak ada ruang untuk sembunyi lagi untuk perempuan. Kalian geluti dan perkosa perempuan beramai-ramai dari visualnya, haknya, organnya, emosinya, air matanya, juga kelaminnya!"

"Ng… karena perempuan menarik. Ia marah menarik, ia tertawa menarik, ia menangis juga menarik, ia telanjang…apalagi. Menarik sekali!"
"Ya, kalian telanjangi perempuan habis-habisan."

"Karena menelanjangi perempuan itu nikmat."
"Kenapa tidak menelanjangi pemikirannya, ide-idenya, semangatnya, kekuatannya, atau telanjangi penderitaan dan rasa sakitnya?" kata-katanya seperti peluru keluar dari moncong senapan.

Sementara itu asap rokoknya mengepul sambung-menyambung seperti asap lokomotif kereta api.

Aku terdiam.
"Atau... karena kalian cuma main-main dengan perempuan..." Ia menutup kata-kata dengan nada sumbang.

Mungkin ya.
Mungkin?

Ya. Mungkin.
Perempuan memang obyek yang menarik untuk dijadikan mainan kata-kata, mainan imajinasi, mainan emosi, juga mainan inspirasi. Tetapi jika ternyata "permainan" dengan perempuan itu akhirnya menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan seperti yang dirasakan oleh perempuanku, aku masih tidak tahu harus meletakkan masalahnya di mana.

Apakah memang perempuan adalah obyek lemah yang mudah dipakai sebagai mainan? Atau memang perempuan justru obyek kuat yang menikmati dirinya ketika dipergunakan sebagai mainan? Apakah perempuan memang begitu menarik dan berharga dari segala segi sehingga menjadi komsumsi pasar, teknologi, sampai kepada para pujangga dan seniman? Atau sebaliknya, perempuan justru sangat rendah sehingga tidak mempunyai persamaan hak di dalam hukum dan seks?

Tetapi bagaimanapun perempuan, apakah ia kuat atau lemah, apakah ia berharga atau rendah, ternyata ia tetap menjadi "obyek". Karena begitu ia ingin mengganti posisinya menjadi "subyek", maka seperti aku, kaum laki-laki akan memasungnya. Karena sebagaimana yang kupikirkan, jika perempuan menjadi "subyek" maka ia akan membahayakan posisi laki-laki.

Karena ia adalah mahluk lemah sekaligus kuat, ia direndahkan tetapi dibutuhkan, ia tidak berarti apa-apa tetapi sangat berharga!
Tengah aku masih sibuk dengan debat kusirku sendiri, perempuanku mendekat dan berkata, "aku ingin bercinta denganmu malam ini…"

Ia hembuskan sebuah udara dari mulutnya yang merupakan campuran dari nafasnya yang wangi dan kepulan asap rokok. Begitu seksi dan menggoda. Tetapi aku lebih merasakan itu sebagai sebuah perintah daripada sebuah permintaan.

Aku gemetar.
"Tidak, aku tidak berani main-main dengan perempuan..." ***


Dikutip Dari : http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2004_05_02_archive.html

Buku-Buku Kutu Buku

Cerpen: Pamusuk Eneste

SEBETULNYA sudah berulang kali istri Kolbuher memperingatkan agar buku-buku di perpustakaan suaminya tidak ditambah lagi. Namun, peringatan itu tampaknya seperti angin lalu saja. Tiap hari ada saja buku yang datang. Tiap hari ada saja majalah atau jurnal yang datang.

"Lama-lama uang pensiunanmu habis untuk membeli buku, Pak," kata sang istri.

"Lo, aku kan tidak beli buku-buku itu, Bu. Mereka yang mengirimi aku buku. Masa aku tolak? Tidak mungkin toh," ujar Kolbuher.

Sejak pensiun beberapa bulan yang lalu, Kolbuher sebetulnya sudah tidak pernah membeli buku. Itu kesepakatan dengan istrinya dan dengan dirinya sendiri.

"Lagi pula, usia Bapak kan sudah lanjut. Kasihan Bapak harus mengurus sendiri buku-buku itu."

"Harusnya memang aku menggaji seseorang untuk mengurus perpustakaanku."

Pada saat lain, istri Kolbuher mengatakan, "Lama-lama perpustakaanmu tidak bisa lagi menampung buku. Jangan-jangan, rumah kita juga bisa tenggelam karena buku-bukumu."

Namun, buku tetap saja mengalir ke rumah Kolbuher. Oleh karena itu, istri Kolbuher malah pernah berkata, "Hati-hati lo, Pak. Suatu ketika Bapak bisa ditelan buku-buku itu."

***

KALAU sudah masuk ke perpustakaan merangkap ruangan kerjanya itu, Kolbuher memang tidak mau diganggu oleh siapa pun. Bahkan oleh istrinya sendiri! Ia juga tidak suka ada orang lain masuk ke ruangan itu meski hanya untuk membersihkan debu atau mengepel lantainya sekalipun. Ia tidak mau ada orang yang memindah-mindahkan susunan buku di perpustakaannya itu. Menurut Kolbuher, "Kalau letak buku di ruangan itu berubah maka aku akan bingung mencarinya nanti bila diperlukan."

Perpustakaan Kolbuher berukuran 4x6 meter. Jendelanya menghadap ke timur. Kalau pagi, ruangan itu memperoleh sinar matahari. Jendela itu dibuka sepanjang hari kecuali jika turun hujan.

Di keempat sisi tembok berdiri rak buku yang terbuat dari kayu, berpetak-petak, dan penuh dengan buku hingga ke langit-langit. Bahkan di lantai depan rak buku itu pun bergeletakan buku yang tidak termuat dalam rak.

Di tengah ruangan menghadap ke jendela, membelakangi pintu masuk, terdapat kursi empuk dan meja kerja Kolbuher. Di meja itu ada komputer. Namun, meja itu pun terasa sumpek karena kiri kanannya penuh dengan buku.

Istri Kolbuher sudah mengingatkan agar buku di meja itu disingkirkan sebagian. Dengan demikian, Kolbuher bisa lebih lega membaca, menulis, ataupun menggunakan komputer.

Namun, Kolbuher cuek saja. Bahkan, Kolbuher juga bergeming ketika istrinya berkata sambil meninggalkan perpustakaan yang sumpek itu, "Suatu saat, buku-buku itu bisa menelanmu hidup-hidup, lo Pak."

***

BUKU-BUKU itu pula yang menyebabkan istri Kolbuher kini berada di kantor polisi. "Ketika Ibu meninggalkan Bapak menuju warung, apakah Bapak masih sehat?" istri Kolbuher mengangguk.

"Waktu itu, Bapak tidak mengatakan apa-apa?"

"Tidak, Pak."

"Barangkali memesan sesuatu dari warung?"

Istri Kolbuher menggeleng lagi.

"Misalnya minta dibelikan rokok?"

"Suami saya tidak merokok, Pak."

"Setahu Ibu, apa Bapak punya penyakit?"

"Setahu saya Bapak tidak mengidap penyakit apa-apa."

"Jantung, misalnya?"

Istri Kolbuher menggeleng.

"Atau penyakit lain barangkali?"

"Tidak."

"Paru-paru?"

Istri Kolbuher untuk kesekian kalinya menggeleng dan kemudian berkata, "penyakitnya cuma satu, Pak...."

"Apa itu, Bu?"

"Penyakitnya suka baca dan dia kutu buku."

***

ISTRI Kolbuher memang tidak habis mengerti. Meski sudah bersepakat untuk tidak membeli satu eksemplar buku pun, koleksi buku Kolbuher tetap saja bertambah dari hari ke hari.

Ada saja pengarang yang merasa tidak afdal kalau tidak mengirimkan buku barunya kepada Kolbuher. Ada saja penerbit yang merasa belum sreg kalau tidak mengirimi Kolbuher buku baru mereka. Ada saja kenalan Kolbuher yang baru pulang dari luar negeri dan mengoleh-olehinya buku. Ada saja tetangga Kolbuher yang bekerja di penerbit dan percetakan yang menghadiahinya buku baru.

"Lha, rumah kita ini jadi kayak perpustakaan saja, Pak," kata istrinya pada suatu ketika.

"Ya, tak apa kan, Bu?"

"Tapi bukumu sudah merayap ke mana-mana, Pak. Ke ruang makan, ke kamar tidur, ke ruang keluarga."

"Ya, tak apa toh Bu? Nanti juga pasti ada gunanya."

Kalau banyak orang bingung menghadapi pensiun, tidaklah demikian dengan Kolbuher.

"Aku sudah merencanakan banyak hal untuk mengisi pensiunku," katanya.

Satu hal yang pasti ingin dilakukan Kolbuher adalah membaca semua buku koleksinya yang tak sempat dibaca selama ini.

Setelah membacai buku itu, rencana lain Kolbuher ialah menulis. Dari membaca buku itu, pasti timbul ide menulis artikel. Kalau dimuat, honornya lumayan untuk menambah uang pensiun. Di samping itu, Kolbuher juga bisa menulis resensi buku. Bukan hanya itu. Kolbuher pun bisa menulis pengalamannya selama menjadi direktur sebuah perusahaan. Misalnya, menulis sekitar manajemen, pengelolaan SDM, dan macam-macam.

Jadi, Kolbuher merasa, ia pasti tidak akan kesepian menjalani masa pensiun. Pasti banyak kegiatan bermanfaat yang bisa dilakukannya. Apalagi ia masih sering diundang berceramah ke berbagai kampus dan perusahaan untuk 'berbagi pengalaman'.

Kalau bosan membaca, menulis, dan berceramah, Kolbuher pun bisa berkebun. Cukup banyak tanaman di halaman rumahnya. Memotong batang, ranting, dan daun tanaman, serta mengganti tanahnya dan memupuknya, tentulah kegiatan yang juga banyak memakan waktu. Untungnya, Kolbuher senang berkebun dan memelihara tanaman.

"Jadi, mana mungkin aku kesepian," katanya kepada seorang temannya yang pernah mengatakan bahwa orang pensiun itu sering kesepian.

***

SEBELUM pensiun, Kolbuher memang tergolong rajin ke toko buku. Kalau ia menemani istrinya berbelanja ke pasar swalayan di plaza atau mal, Kolbuher selalu menyempatkan diri ke toko buku.

Menurut Kolbuher, kalau sudah ke toko buku, "Rasanya ada yang kurang kalau tidak beli buku. Ibarat ke Yogya tapi tidak ke Malioboro, atau ibarat ke Roma tapi tidak ke Koloseum".

Itu pula yang menjengkelkan istri Kolbuher. Setiap ke toko buku, Kolbuher pasti beli buku (minimal satu buku), padahal istrinya tahu persis buku itu hanya ditumpuk di rumah alias tak pernah dibaca. Bagaimana mau dibaca? Pukul 5.30 pagi Kolbuher sudah meninggalkan rumah dan berangkat ke kantor. Tiba kembali di rumah pukul 18.00, kadang-kadang pukul 19.00, atau bahkan pukul 20.00 (kalau ada rapat mendadak). Sudah capek! Kapan mau baca buku?

"Kalau tak sempat dibaca buat apa beli, Pak?" kata istrinya.

"Siapa tahu bukunya dilarang kelak," jawab Kolbuher. "Jadi, aku tak perlu heboh mencari bukunya kalau nanti diberedel penguasa."

Pada saat lain, Kolbuher memberi alasan lain,

"Siapa tahu buku itu tidak cetak ulang. Jadi, aku sudah punya bukunya."

Istrinya masih belum paham jalan pikiran Kolbuher.

"Kalau tidak dibaca, kita kan cuma buang-buang uang, Pak. Lebih baik ditabung duitnnya. Mana memenuhi rumah lagi, padahal Bapak sendiri tahu, rumah kita sudah penuh dengan buku."

"Nanti akan kubaca setelah pensiun."

***

KOLEKSI buku Kolbuher aneka ragam. Buku apa saja dia koleksi, baik buku antik maupun buku baru. Dia punya buku History of Java Raffles. Ada buku Mein Kampf-nya Hitler. Ada juga Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta edisi 1952. Ada pula novel Siti Nurbaya Marah Roesli cetakan 1922. Ada buku Also sprach Zarathustra-nya Nietzsche. Atlas juga dia koleksi, termasuk atlas kuno semisal Atlas Sejarah karya Muhammad Yamin.

Itu pula yang membingungkan istri Kolbuher.

"Untuk apa sih menyimpan buku-buku kuno itu, Pak? Cuma buang-buang duit dan membuat rumah kita kayak gudang."

"Siapa tahu anak cucu kita nanti membutuhkannya."

"Kalau anak cucu kita tidak membutuhkan, bagaimana?"

"Mungkin tetangga kita membutuhkannya."

"Kalau mereka tidak membutuhkannya?"

"Siapa tahu anggota masyarakat lain membutuhkan. Pokoknya, aku yakin Bu, orang, entah siapa, suatu ketika pasti membutuhkan buku yang aku koleksi ini."

***

DALAM kenyataannya, memang banyak orang yang membutuhkan buku koleksi Kolbuher. Uniknya, Kolbuher selalu rela meminjamkan bukunya tanpa bayar dan tanpa jaminan.

"Lo, kok bisa?" Anda barangkali tak percaya.

"Saya percaya, kalau seseorang meminjam buku saya dan tidak mengembalikannya, orang itu akan kualat dan tak berani datang ke sini lagi," kata Kolbuher.

Memang, semua buku yang dipinjamkan Kolbuher selalu dikembalikan tepat pada waktunya. Tidak pernah ada yang mangkir atau hilang atau sobek halaman-halamannya.

Dengan begitu, banyak orang berutang budi pada Kolbuher. Sering orang mencari buku ke Perpustakaan Kota atau Perpustakaan Nasional, namun tak menemukannya.

"Kalau sudah begitu, bahagia rasanya dapat membantu orang yang memerlukan buku itu," kata Kolbuher.

Namun, istri Kolbuher merasa perilaku suaminya itu malah sia-sia saja.

"Rumah kita jadi kayak perpustakaan umum saja, Pak."

"Tidak apa kan kita membantu orang lain."

"Ya, tapi rumah kita kan jadi ribet terus. Tiap hari saja ada orang yang mencari buku ini dan buku itu."

***

DARI hari ke hari, koleksi buku Kolbuher bertambah terus. Makin lama makin penuh rumahnya. Hanya kamar mandi dan dapur saja yang tidak dikepung buku. Tempat tidur Kolbuher yang bagian kepalanya ada raknya dan bisa diisi buku sampai ke atas pun dipenuhi buku. Pernah suatu malam, Kolbuher terbangun secara mendadak karena kepalanya kejatuhan buku. Pernah pula seorang cucu Kolbuher terpeleset karena kebetulan ada buku yang jatuh. Pada saat lain, seorang tamu pernah menabrak buku ketika hendak ke toilet.

Pendek kata, bagaimana istri Kolbuher menolak bertambahnya koleksi buku di rumahnya, ada saja alasan Kolbuher untuk membantahnya. Sampai-sampai istri Kolbuher kehabisan akal untuk menyetop aliran buku ke rumah mereka. Kata sang istri, "Terserah Bapak saja. Pokoknya, aku sudah peringatkan Bapak, lo. Kalau ada apa-apa, aku tidak tanggung, lo...."

Tak!

Ada sesuatu yang berdetak dalam dada Kolbuher. Kalau ada apa-apa, kata istrinya. Ada apa-apa maksudnya? Kolbuher tidak bisa menduga apa makna kata-kata terakhir istrinya. Ketika Kolbuher mau bertanya, istrinya sudah ngeloyor pergi.

"Saya mau ke warung sebentar," kata istrinya.

***

"BERAPA lama Ibu di warung?" tanya polisi.

"Tidak lama, Pak."

"Kira-kira lima belas menit, Pak."

"Ketika Ibu pulang, apa yang Ibu saksikan?"

"Pintu ruang perpustakaan Bapak tidak bisa dibuka."

"Lantas apa yang Ibu lakukan?"

"Saya ketok-ketok, sambil memanggil-manggil, 'Pak, Pak. Tolong buka pintunya'."

"Apa reaksi Bapak?"

"Tak ada reaksi. Biasanya kalau saya ketok-ketok, Bapak menyahut dari dalam, atau melongok sebentar...."

"Lalu, apa yang Ibu lakukan selanjutnya?"

"Saya ke rumah tetangga."

"Lantas?"

"Tetangga saya sudah melongok dari jendela...."

***

SETELAH beristirahat beberapa menit, karena istri Kolbuher minta minum, polisi melanjutkan pemeriksaan.

"Setelah tetangga melongok dari jendela, apa yang dia lihat?"

"Kata tetangga perpustakaan Bapak seperti baru diguncang gempa hebat. Semua bubrah, berantakan, amburadul, dan berjumpalitan. 'Seperti kapal pecah, Bu', kata tetangga itu."

"Bapak sendiri di mana?"

"Itulah yang tidak saya tahu, Pak."

Polisi diam sebentar.

Lantas, istri Kolbuher hanya mengatakan "jangan-jangan ..." tanpa melanjutkan kata-katanya. Selanjutnya, istri Kolbuher memejamkan mata. Seperti menahan sesuatu yang tak terbayangkan dan tak terduga telah terjadi pada suaminya.

***

KEESOKAN harinya, setelah pintu ruang perpustakaan Kolbuher dibongkar paksa, teka-teki yang menimpa Kolbuher terkuak.

TV 24 menyajikan berita: "Seorang pensiunan telah mati ditelan buku-bukunya. Kejadian itu baru diketahui setelah istrinya pulang dari warung. Ketika istrinya pergi ke warung, suaminya sedang mencari buku di ruang kerjanya yang penuh dengan buku. Entah bagaimana, rak-rak buku di keempat sisi ruangan kerja itu ambruk secara bersamaan waktunya dan menimpa orang yang ada di ruangan itu. Korban yang merupakan kolektor buku kesohor di negeri ini bernama Kolbuher."

Beberapa menit kemudian, SMS di HP orang-orang yang pernah meminjam buku dari Kolbuher secara berantai berbunyi. isi teksnya: "Pak Kolbuher sudah meninggalkan kita semua untuk selamanya. Besok kita melayat ke rumahnya, teman-teman."

Koran Pagi menurunkan kepala berita 'Perpustakaan Hidup Itu Telah Tiada'. Pada Akhir disebutkan, "Negeri ini telah kehilangan kolektor buku ulung dan tak ada tandingannya. Ia meninggalkan seorang istri, 4 anak, 12 cucu." Menurut berita itu, "koleksi buku Kolbuher sudah pantas dijadikan museum tersendiri dan dikelola oleh pemerintah dan swasta. Selain itu, Kolbuher pun pantas dianugerahi Bintang Mahaputra Kelas I karena sumbangannya bagi generasi muda. Banyak orang yang meraih gelar sarjana, megister, dan doktor di negeri ini yang pernah memanfaatkan perpustakaan kolbuher. Secara gratis lagi!"

Tabloid Kesohor memberitakan bahwa setelah polisi memeriksa perpustakaan Kolbuher, polisi sampai pada kesimpulan bahwa tiang penyangga keempat rak buku ternyata keropos akibat banjir bandang beberapa waktu lalu. Berita itu ditutup dengan kalimat, "Dengan demikian, sangkaan polisi bahwa istrinya dengan sengaja membunuh Kolbuher tidaklah terbukti."

Rumah Kolbuher memang terletak sekitar 50 meter dari pinggir sungai yang selalu menerima limpahan air dari Bogor-Puncak, yang hutannya banyak ditumbuhi beton dan pohon-pohonnya banyak ditebangi secara liar.

Jakarta, 4 September 2002

Sunday, September 15, 2002

Percakapan Patung-Patung

Cerpen: Indra Trenggono

BULAN sebesar semangka tersepuh perak, tergantung di langit kota, dini hari. Cahayanya yang lembut, tipis berselaput kabut, menerpa lima sosok patung pahlawan yang berdiri di atas Monumen Joang yang tak terawat dan menjadi sarang gelandangan. Cahaya bulan itu seperti memberi tenaga kepada mereka untuk bergerak-gerak, dari posisi mereka yang berdiri tegak. Mereka seperti mencuri kesempatan dari genggaman warga kota yang terlelap dirajam kantuk dalam ringkus selimut.

Lima patung yang terdiri dari tiga lelaki dan dua perempuan itu, menggoyang-goyangkan kaki, menggerakkan tangan, kemudian duduk dan bahkan ada yang tiduran. Mungkin, mereka sangat letih karena selama lebih dari empat puluh tahun berdiri di situ. Wajah mereka yang kaku, dengan lipatan-lipatan cor semen yang beku pun kerap bergerak-gerak seperti orang mengaduh, mengeluh, menjerit dan berteriak. Tentu, hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengarnya.

"Dulu, ketika jasad kita terbujur di sini, kota ini sangat sunyi. Hanya beberapa lampu berpendar bagai belasan kunang-kunang yang membangunkan malam. Kini, puluhan bahkan ratusan lampu, bependar-pendar seterang siang. Negeri ini benar-benar megah," ujar patung lelaki yang dikenal dengan nama Wibagso sambil mengayun-ayunkan senapannya.

"Tapi lihatlah di sana, Bung Wibagso. Kumpulan gelandangan tumpang-tindih bagi jutaan cendol sedang makan bangkai anjing dengan lahap. Dan di sana, lihatlah deretan gubug-gubug reyot menyatu dengan gelandangan yang berjejal bagai benalu menempel di tembok gedung-gedung. Mulut mereka menganga menyemburkan abab bacin serupa aroma mayat, mengundang jutaan lalat terjebak di dalamnya. Ya, Tuhan, mereka mengunyah lalat-lalat itu..." desis patung lelaki bernama Durmo.

Ratri, patung perempuan yang dulu dikenal sebagai mata-mata kaum gerilyawan, menukas, "Itu biasa rekan Durmo. Dalam negeri yang gemerlap, selalu dirawat kemiskinan sebagai ilham bagi kemajuan. Kita mesti bangga, negeri ini sangat kaya. Lihatlah di sana deretan rumah mewah menyimpan jutaan keluarga bahagia. Ada mobil-mobil mewah, ada lapangan golf pribadi, bahkan ada pesawat terbang pribadi... Dan lihatlah di sana, orang-orang berdansa-dansi sampai pagi. Yaaa... ampun malah ada yang orgi..."

Patung Sidik, yang sejak tadi menyidik dunia sekitar dengan mata nanar melenguh bagai sapi di ruang jagal, "Ternyata mereka hanya sanggup mengurus perut dan kelamin mereka sendiri. Aku jadi menyesal, kenapa dulu ikut memerdekakan negeri ini."

"Aku pun jadi tidak lagi pede sebagai pahlawan," timpal Durmo, "Kita bediri di sini tak lebih dari hantu sawah. Ternyata mereka tak sungkan apalagi hormat kepada kita. Buktinya, mereka menggaruk apa saja."

"Kamu jangan terlalu sentimentil. Aku rasa mereka tetap hormat kepada kita. Buktinya, mereka membangunkan kita monumen yang megah," tukas Wibagso.

Tapi kenapa kita hanya diletakkan di sini, di tempat njepit ini. Mosok monumen pahlawan kok cuma dislempitkan," gugat patung perempuan bernama Cempluk, yang dulu dikenal sebagai pejuang dari dapur umum.

Angin bertiup mengabarkan hari sudah pagi. Gelandangan-gelandangan yang tidur melingkar di kaki monumen itu menggeliat. Mulut mereka menguap kompak. Aroma abab bacin yang membadai dari sela gigi-gigi kuning, menguasai udara sekitar. Tercium oleh para patung pahlawan. Sontak mereka serempak berdiri, dan masing-masing kembali pada tempatnya, sebelum keheningan pagi dirajam hiruk-pikuk kota, sebelum udara bersih pagi dicemari deru nafas kota yang keruh.

Dalam posisi asal, patung-patung pahlawan itu terus bergumam. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu menangkapnya.

YU Seblak, pelacur senior yang dikenal sebagai danyang alias "penunggu" monumen itu, duduk takzim di kaki monumen. Tangannya di angkat di atas kepala. Tergenggam dupa yang mengepulkan asap. Kepulan asap itu menari-nari mengikuti gerak tangan Yu Seblak. Ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah. Gerakan Yu Seblak diikuti lima-enam orang yang duduk di belakang perempuan berdandan menor itu. Yu Seblak bergumam meluncurkan kata-kata mantera.

"Aku mendengar ada banyak orang mendoakan kita. Mereka memberi kita sesaji. Ada bunga-bunga, ada jajan pasar, ada juga rokok klembak menyan," Mata Wibagso terus mengikuti upacara yang dipimpin Yu Seblak.

"Kurang ajar! Kita dianggap dhemit! Malah ada yang minta nomer buntut segala! Ini apa-apaan Wibagso!" teriak Durmo.

"Ssssttt. Tenanglah. Apa susahnya kita membikin mereka sedikit gembira. Anggap saja ini intermezzo dalam perjalanan kita menuju jagat keabadian," ujar Wibagso.

"Tapi kalau pahlawan sudah disuruh ngurusi togel itu kebangeten!" protes Cempluk.

"Hidup mereka gelap rekan Cempluk. Mereka hanya bisa mengadu kepada kita, karena yang hidup tak pernah mengurusi nasib mereka. Justru menghardik mereka...," tukas Ratri.

Yu Seblak terus mengucapkan doa dalam irama cepat, diikuti orang-orang di belakangnya. Selesai memimpin doa, Yu Seblak menerima berbagai keluhan para "pasiennya".

"Wah kalau pahlawan disuruh ngurusi garukan pelacur, ya enggak bisa. Punya permintaan itu mbok yang sopan gitu lho..."

"Habis, saya selalu kena garuk, Yu. Jadinya 'dagangan' saya sepi. Ehhh siapa tahu, para petugas ketertiban kota itu takut dengan Kanjeng Wibagso dan semua pahlawan di sini. Tolong ya... Yu..." ujar Ajeng, perempuan berparas malam itu, sambil menyerahkan amplop di genggaman Yu Seblak.

"Yaahhh akan saya usahaken. Semoga saja Kanjeng Wibagso dan rekan bisa mempertimbangken..."

Wibagso tersenyum. Sidik manggut-manggut. Durmo tampak tersinggung.

"Mereka ini payah. Garuk-menggaruk itu kan bukan urusan kita. Mestinya mereka mengadu ke anggota dewan..."

"Ah anggota dewan kan lebih senang kasak-kusuk untuk saling menjatuhkan...," ujar Sidik.

"Tampung saja keluhan itu," sahut Wibagso.

"Tapi urusan kita banyak, Bung! Kita masih harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita selama hidup. Jujur saja, waktu berjuang dulu, aku menembaki musuh tanpa ampun seperti aku membasmi tikus," mata Durmo menerawang jauh.

"Perang memungkinkan segalanya, Bung. Kita tidak mungkin bersikap lemah lembut terhadap musuh, yang mengincar nyawa kita. Kita membunuh bukan demi kepuasan melihat mayat-mayat mengerjat-ngerjat karena nyawanya oncat. Kita hanya mempertahankan hak yang harus digenggam," Wibagso mencoba menghibur Durmo.

"Kita yakin saja, malaikat penghitung pahala pasti mencatat seluruh kebaikan kita," Ratri menimpali.

Dari penjual rokok di seberang jalan, sayup-sayup terdengar warna berita dari radio: "Monumen Joang untuk mengenang lima pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kota Baru melawan pasukan Belanda akan dipugar. Status mereka pun sedang diusulkan untuk ditingkatkan dari pahlawan kota telah menyiapkan anggaran sebesar tiga milyar." Lima patung itu mendengarkan berita dengan takzim. Wibagso meloncat girang. Ratri menari-nari. Cempluk hanya diam terpekur. Durmo masih dibalut perasaan gelisah. Sidik berdiri mematung, meskipun sudah sangat lama jadi patung.

"Kenapa kalian hanya diam? Berita itu mesti kita rayakan!" ujar Wibagso.

"Untuk apa? Aku sendiri tak terlalu bangga jadi pahlawan. Ternyata negeri yang kumerdekakan ini, akhirnya hanya menjadi meja prasmanan besar bagi beberapa gelintir orang. Sedang jutaan mulut yang lain, hanya menjadi tong sampah yang mengunyah sisa-sisa pesta," ujar Sidik.

"Itu bukan urusan kita, Bung. Tugas kita sudah selesai. Kita tinggal bersyukur melihat anak cucu hidup bahagia," sergah Wibagso.

"Tapi jutaan orang-orang bernasib gelap itu terus menjerit. Jeritan mereka memukul-mukul rongga batinku."

"Ah, sudah jadi arwah kok masih perasa."

"Tapi perasaanku masih hidup!"

"Untuk apa memikirkan semua itu. Kalau masih ada yang kurang beruntung, itu biasa. Hidup ini perlombaan. Ada pemenang, ada juga pecundang!"

"Jangan-jangan kamu ini kurang ikhlas berjuang, Bung Sidik," timpal Ratri.

"Kurang ikhlas bagaimana? Kakiku yang pengkor ini telah kuberikan kepada hidup. Bahkan jantungku telah menjadi sarang peluru-peluru musuh. Mereka memberondongku tanpa ampun hingga tubuhku luluh latak bagai dendeng."

"Ooo kalau soal itu, penderitaanku lebih dahsyat. Kalian tahu, ketika aku merebut kota yang dikuasai musuh, puluhan peluru merajamku. Tapi aku puas, karena berkat keberanianku, nyali kawan-kawan kita terpompa dan akhirnya berhasil memenangkan pertempuran. Ini semua berkat aku!"

"Enak saja kau bilang aku," sergah Durmo. "Dalam pertempuran merebut Kota Baru itu, aku dan Sidik yang berdiri paling depan. Menghadapi musuh satu lawan satu. Kamu sendiri, lari terbirit-birit ke hutan dan ke gunung. Dan kamu, tanpa malu, menyebut sedang bergerilya!"

"Tapi akulah yang punya ide untuk menyerang. Aku juga yang memimpin serangan fajar itu!"

"Siapa yang mengangkatmu jadi pemimpin, Wibagso? Siapa? Waktu itu, kita tak lebih dari pemuda yang hanya bermodal nyali. Tak ada jabatan. Tak ada hierarki. Apalagi pimpinan produksi perang!" hardik Durmo.

"Tapi perang tidak hanya pakai otot, Bung! Perang juga pakai otak. Pakai strategi!" Napas Wibagso naik-turun.

"Tapi strategi tanpa nyali bagai kepala tanpa kaki!" kilah Durmo.

"Bung Wibagso," tukar Sidik, "Kenapa kamu sibuk menghitung-hitung jasa yang sesungguhnya hampa?!"

Bulan mengerjap, seperti tersentak. Wajah Wibagso memerah.

"Sidik! Belajarlah kamu menghargai jasa orang lain. Jangan anggap kamu paling pahlawan di antara para pahlawan!"

"Kapan aku membangga-banggakan diri? Kapan? Kamu ingat, waktu berjuang dulu, aku justru menghilang ketika ada Panglima Besar mengunjungi kawan-kawan kita yang berhasil menggempur musuh. Kalau aku mau, bisa saja aku mencatatkan diri menjadi prajurit resmi. Dan aku yakin, ketika negeri ini merdeka, aku mampu jadi petinggi yang bisa mborongi proyek. Tapi, puji Tuhan, maut keburu menjemputku," ujar Sidik.

"Begitu juga aku," sergah Durmo, "Aku berpesan kepada anak-anakku, kepada seluruh keturunanku, untuk tidak mengungkit-ungkit jasa kepahlawananku, demi uang tunjangan yang tak seberapa banyak. Itu pun masih banyak potongannya!"

"Munafik. Kalian ini munafik!" bentak Wibagso.

Bulan kembali mengerjap. Angin terasa mati.

Napas kota kembali berhembus. Jantung kota kembali berdegup. Gelandangan, pelacur dan copet kembali menggeliat. Mulut mereka kompak menguap menyemburkan abab bacin penuh bakteri.

"Aku yakin, kalau monumen ini jadi dipugar, kita akan kehilangan tempat," ujar Kalur, pencopet bertubuh tinggi kurus itu.

"Kita harus turun ke jalan. Kita kerahkan semua gelandangan di kota ini. Kita demo besar-besaran!" timpal Karep yang dijuluki "gelandangan intelektual" karena gemar mengutip kata-kata gagah.

Percakapan mereka dihentikan suara radio milik Yu Seblak yang menyiarkan warta berita: "Drs Ginsir, Kepala Kotapraja yang menggantikan RM Picis, membatalkan rencana pemugaran Monumen Joang. Menurut Drs Gingsir, proyek itu mubazir. Bertenangan dengan azas kemanfaatan bagi publik. Apalagi pengajuan perubahan status menjadi pahlawan nasional, ditolak Tim Pakar Sejarah Nasional. Dana sebesar tiga milyar dialihkan untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat prasejahtera."

Gelandangan-gelandangan sontak bersorak. Mereka menari. Beberapa orang menenggak minuman oplosan alkohol. Bahkan ada yang mencampurinya dengan spritus. Jantung mereka berdetak cepat. Gerakan tubuh mereka semakin rancak, semakin panas.

Bulan pucat di angkasa berselimut kabut. Kota kembali tidur. Tapi di sebuah gedung pemerintahan kotapraja, tampak lampu masih menyala.

"Saya setuju saja, jika Den Bei Taipan mau bikin mall di sini," ujar Drs Ginsir sambil minum anggur.

"Terima kasih... terima kasih. Bapak Ginsir ternyata welcome. Eeee soal pembagian keuntungan, itu dinegosiasikan. Biasanya, 30:60." Den Bei menenggak anggur merah.

"Tapi tunggu dulu, Den Bei. Saya mesti mengusulkan masalah ini pada Dewan. Dan biasanya itu agak lama. Maklum..."

"Eeee bagaimana kalau 35:65. Tidak ada konglomerat gila macam saya."

"Tapi masih banyak konglomerat lain yang lebih gila, Den Bei..."

"Bagaimana kalau 40:60. Ini peningkatan yang sangat progresif."

"Well...well...well... Saya kira Den Bei bisa bikin mall tidak hanya satu. Tanah di sini masih sangat luas."

"Bapak ini ternyata cerdas. Setidaknya, mendadak cerdas."

Keduanya tertawa berderai.

"Den Bei tinggal pilih. Alun-alun, bekas benteng Rotenberg atau di Monumen Joang."

"Semuanya akan saya ambil."

"Terima kasih. Sulaplah kota kami ini jadi metropolitan."

Keduanya berjabat tangan.


***

"PENGKHIANAT! Culas! Licik dan sombong! Penguasa demi penguasa datang, ternyata hanya bertukar rupa. Mereka tetap saja menikamkan pengkhianatan demi pengkhianatan di tubuh kita!" Wibagso menggebrak, hingga tubuh monumen bergetar.

"Mereka menganggap kita sekadar bongkahan batu yang beku. Mereka hendak menggerus kita menjadi butiran-butiran masa silam yang kelam!" hardik Ratri.

Sidik, Durmo, dan Cempluk tersenyum.

"Kenapa kalian hanya diam? Kita ini hendak diluluhlantakkan. Lihatlah buldoser-buldoser itu datang. Berderap-derap. Kita harus bertahan. Bertahan!" teriak Wibagso.

Di bawah monumen, Yu Seblak memimpin penghadangan penggusuran. "Kita harus bertahan! Kita lawan buldoser-buldoser itu! Ajeng, Karep, Kalur, di mana kalian?" teriak Yu Seblak.

"Kami di sini. Di belakangmu!" jawab mereka kompak.

"Kita lawan mereka. Kita pertahankan liang-liang kita. Lebih baik mati daripada selamanya dikutuk jadi kecoa!"

Deru buldoser-buldoser mengepung monumen. Beberapa orang berseragam memberi aba-aba. Buldoser-buldoser terus merangsek.

"Lihatlah, mereka yang hanya gelandangan saja membela kita. Mestinya kalian malu!" hardik Wibagso.

"Wibagso! Kalau kami akhirnya melawan mereka, itu bukan untuk membela kepongahan kita sebagai pahlawan. Tapi membela mereka yang juga punya hak hidup!" teriak Sidik.

"Aku tak butuh penjelasan. Tapi butuh kejelasan sikap kalian untuk melawan mereka Ratri, meloncatlah kamu. Dan masuklah ke ruang kemudi. Cekik leher sopir-sopir itu. Cempluk, tahan moncong buldoser itu. Ganjal dengan tubuhmu. Sidik, dan kamu Durmo hancurkan mesin buldoser-buldoser itu. Cepat!" Wibagso mengatur perlawanan seperti ketika menghadapi tentara-tentara penjajah.

Buldoser terus merangsek. Meluluhlantakkan badan monumen. Menerjang orang-orang yang mencoba bertahan. Kalur, Karep, Ajeng, dan orang-orang lainnya lari lintang pukang.

"Kalian benar-benar pengecut!" teriak Yu Seblak.

"Sia-sia melawan mereka! Mereka ternyata buaanyaakkk sekali!" teriak Kalur.

"Kita menyingkir saja. Pahlawan saja mereka gilas, apalagi kecoa makam kita! Menyingkir... Menyingkir saja!!!" Karep mencoba menarik Yu Seblak yang berdiri beberapa sentimeter dari moncong-moncong buldoser. Tapi Yu Seblak tetap bertahan, sambil terus mengibar-ngibarkan kain dan kutangnya. Tak ada yang menahan Yu Seblak untuk telanjang. Buldoser-buldoser itu dengan rakus dan bergairah menggilas tubuh Yu Seblak. Tubuh kuning langsat itu bagaikan buah semangka yang dilumat blender.

Wibagso tersentak. Ratri menjerit histeris. Durmo dan Sidik berteriak-teriak penuh amarah. Mereka mencoba menghadang buldoser-buldoser itu. Tapi mesin penghancur itu terlalu kuat buat dilawan. Patung-patung itu dilabrak dan dihajar hingga lumat.

Bulan di angkasa mengerjap, Angin mati.

"Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..." ujar Wibagso lirih. Ucapan itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun, dan diresmikan Kepala Kotapraja, Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu terus mengalun. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengar gugatan itu.*


Dikutip Dari : http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2002_09_15_archive.html

Buku-Buku Kutu Buku

Cerpen: Pamusuk Eneste

SEBETULNYA sudah berulang kali istri Kolbuher memperingatkan agar buku-buku di perpustakaan suaminya tidak ditambah lagi. Namun, peringatan itu tampaknya seperti angin lalu saja. Tiap hari ada saja buku yang datang. Tiap hari ada saja majalah atau jurnal yang datang.

"Lama-lama uang pensiunanmu habis untuk membeli buku, Pak," kata sang istri.

"Lo, aku kan tidak beli buku-buku itu, Bu. Mereka yang mengirimi aku buku. Masa aku tolak? Tidak mungkin toh," ujar Kolbuher.

Sejak pensiun beberapa bulan yang lalu, Kolbuher sebetulnya sudah tidak pernah membeli buku. Itu kesepakatan dengan istrinya dan dengan dirinya sendiri.

"Lagi pula, usia Bapak kan sudah lanjut. Kasihan Bapak harus mengurus sendiri buku-buku itu."

"Harusnya memang aku menggaji seseorang untuk mengurus perpustakaanku."

Pada saat lain, istri Kolbuher mengatakan, "Lama-lama perpustakaanmu tidak bisa lagi menampung buku. Jangan-jangan, rumah kita juga bisa tenggelam karena buku-bukumu."

Namun, buku tetap saja mengalir ke rumah Kolbuher. Oleh karena itu, istri Kolbuher malah pernah berkata, "Hati-hati lo, Pak. Suatu ketika Bapak bisa ditelan buku-buku itu."

***

KALAU sudah masuk ke perpustakaan merangkap ruangan kerjanya itu, Kolbuher memang tidak mau diganggu oleh siapa pun. Bahkan oleh istrinya sendiri! Ia juga tidak suka ada orang lain masuk ke ruangan itu meski hanya untuk membersihkan debu atau mengepel lantainya sekalipun. Ia tidak mau ada orang yang memindah-mindahkan susunan buku di perpustakaannya itu. Menurut Kolbuher, "Kalau letak buku di ruangan itu berubah maka aku akan bingung mencarinya nanti bila diperlukan."

Perpustakaan Kolbuher berukuran 4x6 meter. Jendelanya menghadap ke timur. Kalau pagi, ruangan itu memperoleh sinar matahari. Jendela itu dibuka sepanjang hari kecuali jika turun hujan.

Di keempat sisi tembok berdiri rak buku yang terbuat dari kayu, berpetak-petak, dan penuh dengan buku hingga ke langit-langit. Bahkan di lantai depan rak buku itu pun bergeletakan buku yang tidak termuat dalam rak.

Di tengah ruangan menghadap ke jendela, membelakangi pintu masuk, terdapat kursi empuk dan meja kerja Kolbuher. Di meja itu ada komputer. Namun, meja itu pun terasa sumpek karena kiri kanannya penuh dengan buku.

Istri Kolbuher sudah mengingatkan agar buku di meja itu disingkirkan sebagian. Dengan demikian, Kolbuher bisa lebih lega membaca, menulis, ataupun menggunakan komputer.

Namun, Kolbuher cuek saja. Bahkan, Kolbuher juga bergeming ketika istrinya berkata sambil meninggalkan perpustakaan yang sumpek itu, "Suatu saat, buku-buku itu bisa menelanmu hidup-hidup, lo Pak."

***

BUKU-BUKU itu pula yang menyebabkan istri Kolbuher kini berada di kantor polisi. "Ketika Ibu meninggalkan Bapak menuju warung, apakah Bapak masih sehat?" istri Kolbuher mengangguk.

"Waktu itu, Bapak tidak mengatakan apa-apa?"

"Tidak, Pak."

"Barangkali memesan sesuatu dari warung?"

Istri Kolbuher menggeleng lagi.

"Misalnya minta dibelikan rokok?"

"Suami saya tidak merokok, Pak."

"Setahu Ibu, apa Bapak punya penyakit?"

"Setahu saya Bapak tidak mengidap penyakit apa-apa."

"Jantung, misalnya?"

Istri Kolbuher menggeleng.

"Atau penyakit lain barangkali?"

"Tidak."

"Paru-paru?"

Istri Kolbuher untuk kesekian kalinya menggeleng dan kemudian berkata, "penyakitnya cuma satu, Pak...."

"Apa itu, Bu?"

"Penyakitnya suka baca dan dia kutu buku."

***

ISTRI Kolbuher memang tidak habis mengerti. Meski sudah bersepakat untuk tidak membeli satu eksemplar buku pun, koleksi buku Kolbuher tetap saja bertambah dari hari ke hari.

Ada saja pengarang yang merasa tidak afdal kalau tidak mengirimkan buku barunya kepada Kolbuher. Ada saja penerbit yang merasa belum sreg kalau tidak mengirimi Kolbuher buku baru mereka. Ada saja kenalan Kolbuher yang baru pulang dari luar negeri dan mengoleh-olehinya buku. Ada saja tetangga Kolbuher yang bekerja di penerbit dan percetakan yang menghadiahinya buku baru.

"Lha, rumah kita ini jadi kayak perpustakaan saja, Pak," kata istrinya pada suatu ketika.

"Ya, tak apa kan, Bu?"

"Tapi bukumu sudah merayap ke mana-mana, Pak. Ke ruang makan, ke kamar tidur, ke ruang keluarga."

"Ya, tak apa toh Bu? Nanti juga pasti ada gunanya."

Kalau banyak orang bingung menghadapi pensiun, tidaklah demikian dengan Kolbuher.

"Aku sudah merencanakan banyak hal untuk mengisi pensiunku," katanya.

Satu hal yang pasti ingin dilakukan Kolbuher adalah membaca semua buku koleksinya yang tak sempat dibaca selama ini.

Setelah membacai buku itu, rencana lain Kolbuher ialah menulis. Dari membaca buku itu, pasti timbul ide menulis artikel. Kalau dimuat, honornya lumayan untuk menambah uang pensiun. Di samping itu, Kolbuher juga bisa menulis resensi buku. Bukan hanya itu. Kolbuher pun bisa menulis pengalamannya selama menjadi direktur sebuah perusahaan. Misalnya, menulis sekitar manajemen, pengelolaan SDM, dan macam-macam.

Jadi, Kolbuher merasa, ia pasti tidak akan kesepian menjalani masa pensiun. Pasti banyak kegiatan bermanfaat yang bisa dilakukannya. Apalagi ia masih sering diundang berceramah ke berbagai kampus dan perusahaan untuk 'berbagi pengalaman'.

Kalau bosan membaca, menulis, dan berceramah, Kolbuher pun bisa berkebun. Cukup banyak tanaman di halaman rumahnya. Memotong batang, ranting, dan daun tanaman, serta mengganti tanahnya dan memupuknya, tentulah kegiatan yang juga banyak memakan waktu. Untungnya, Kolbuher senang berkebun dan memelihara tanaman.

"Jadi, mana mungkin aku kesepian," katanya kepada seorang temannya yang pernah mengatakan bahwa orang pensiun itu sering kesepian.

***

SEBELUM pensiun, Kolbuher memang tergolong rajin ke toko buku. Kalau ia menemani istrinya berbelanja ke pasar swalayan di plaza atau mal, Kolbuher selalu menyempatkan diri ke toko buku.

Menurut Kolbuher, kalau sudah ke toko buku, "Rasanya ada yang kurang kalau tidak beli buku. Ibarat ke Yogya tapi tidak ke Malioboro, atau ibarat ke Roma tapi tidak ke Koloseum".

Itu pula yang menjengkelkan istri Kolbuher. Setiap ke toko buku, Kolbuher pasti beli buku (minimal satu buku), padahal istrinya tahu persis buku itu hanya ditumpuk di rumah alias tak pernah dibaca. Bagaimana mau dibaca? Pukul 5.30 pagi Kolbuher sudah meninggalkan rumah dan berangkat ke kantor. Tiba kembali di rumah pukul 18.00, kadang-kadang pukul 19.00, atau bahkan pukul 20.00 (kalau ada rapat mendadak). Sudah capek! Kapan mau baca buku?

"Kalau tak sempat dibaca buat apa beli, Pak?" kata istrinya.

"Siapa tahu bukunya dilarang kelak," jawab Kolbuher. "Jadi, aku tak perlu heboh mencari bukunya kalau nanti diberedel penguasa."

Pada saat lain, Kolbuher memberi alasan lain,

"Siapa tahu buku itu tidak cetak ulang. Jadi, aku sudah punya bukunya."

Istrinya masih belum paham jalan pikiran Kolbuher.

"Kalau tidak dibaca, kita kan cuma buang-buang uang, Pak. Lebih baik ditabung duitnnya. Mana memenuhi rumah lagi, padahal Bapak sendiri tahu, rumah kita sudah penuh dengan buku."

"Nanti akan kubaca setelah pensiun."

***

KOLEKSI buku Kolbuher aneka ragam. Buku apa saja dia koleksi, baik buku antik maupun buku baru. Dia punya buku History of Java Raffles. Ada buku Mein Kampf-nya Hitler. Ada juga Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta edisi 1952. Ada pula novel Siti Nurbaya Marah Roesli cetakan 1922. Ada buku Also sprach Zarathustra-nya Nietzsche. Atlas juga dia koleksi, termasuk atlas kuno semisal Atlas Sejarah karya Muhammad Yamin.

Itu pula yang membingungkan istri Kolbuher.

"Untuk apa sih menyimpan buku-buku kuno itu, Pak? Cuma buang-buang duit dan membuat rumah kita kayak gudang."

"Siapa tahu anak cucu kita nanti membutuhkannya."

"Kalau anak cucu kita tidak membutuhkan, bagaimana?"

"Mungkin tetangga kita membutuhkannya."

"Kalau mereka tidak membutuhkannya?"

"Siapa tahu anggota masyarakat lain membutuhkan. Pokoknya, aku yakin Bu, orang, entah siapa, suatu ketika pasti membutuhkan buku yang aku koleksi ini."

***

DALAM kenyataannya, memang banyak orang yang membutuhkan buku koleksi Kolbuher. Uniknya, Kolbuher selalu rela meminjamkan bukunya tanpa bayar dan tanpa jaminan.

"Lo, kok bisa?" Anda barangkali tak percaya.

"Saya percaya, kalau seseorang meminjam buku saya dan tidak mengembalikannya, orang itu akan kualat dan tak berani datang ke sini lagi," kata Kolbuher.

Memang, semua buku yang dipinjamkan Kolbuher selalu dikembalikan tepat pada waktunya. Tidak pernah ada yang mangkir atau hilang atau sobek halaman-halamannya.

Dengan begitu, banyak orang berutang budi pada Kolbuher. Sering orang mencari buku ke Perpustakaan Kota atau Perpustakaan Nasional, namun tak menemukannya.

"Kalau sudah begitu, bahagia rasanya dapat membantu orang yang memerlukan buku itu," kata Kolbuher.

Namun, istri Kolbuher merasa perilaku suaminya itu malah sia-sia saja.

"Rumah kita jadi kayak perpustakaan umum saja, Pak."

"Tidak apa kan kita membantu orang lain."

"Ya, tapi rumah kita kan jadi ribet terus. Tiap hari saja ada orang yang mencari buku ini dan buku itu."

***

DARI hari ke hari, koleksi buku Kolbuher bertambah terus. Makin lama makin penuh rumahnya. Hanya kamar mandi dan dapur saja yang tidak dikepung buku. Tempat tidur Kolbuher yang bagian kepalanya ada raknya dan bisa diisi buku sampai ke atas pun dipenuhi buku. Pernah suatu malam, Kolbuher terbangun secara mendadak karena kepalanya kejatuhan buku. Pernah pula seorang cucu Kolbuher terpeleset karena kebetulan ada buku yang jatuh. Pada saat lain, seorang tamu pernah menabrak buku ketika hendak ke toilet.

Pendek kata, bagaimana istri Kolbuher menolak bertambahnya koleksi buku di rumahnya, ada saja alasan Kolbuher untuk membantahnya. Sampai-sampai istri Kolbuher kehabisan akal untuk menyetop aliran buku ke rumah mereka. Kata sang istri, "Terserah Bapak saja. Pokoknya, aku sudah peringatkan Bapak, lo. Kalau ada apa-apa, aku tidak tanggung, lo...."

Tak!

Ada sesuatu yang berdetak dalam dada Kolbuher. Kalau ada apa-apa, kata istrinya. Ada apa-apa maksudnya? Kolbuher tidak bisa menduga apa makna kata-kata terakhir istrinya. Ketika Kolbuher mau bertanya, istrinya sudah ngeloyor pergi.

"Saya mau ke warung sebentar," kata istrinya.

***

"BERAPA lama Ibu di warung?" tanya polisi.

"Tidak lama, Pak."

"Kira-kira lima belas menit, Pak."

"Ketika Ibu pulang, apa yang Ibu saksikan?"

"Pintu ruang perpustakaan Bapak tidak bisa dibuka."

"Lantas apa yang Ibu lakukan?"

"Saya ketok-ketok, sambil memanggil-manggil, 'Pak, Pak. Tolong buka pintunya'."

"Apa reaksi Bapak?"

"Tak ada reaksi. Biasanya kalau saya ketok-ketok, Bapak menyahut dari dalam, atau melongok sebentar...."

"Lalu, apa yang Ibu lakukan selanjutnya?"

"Saya ke rumah tetangga."

"Lantas?"

"Tetangga saya sudah melongok dari jendela...."

***

SETELAH beristirahat beberapa menit, karena istri Kolbuher minta minum, polisi melanjutkan pemeriksaan.

"Setelah tetangga melongok dari jendela, apa yang dia lihat?"

"Kata tetangga perpustakaan Bapak seperti baru diguncang gempa hebat. Semua bubrah, berantakan, amburadul, dan berjumpalitan. 'Seperti kapal pecah, Bu', kata tetangga itu."

"Bapak sendiri di mana?"

"Itulah yang tidak saya tahu, Pak."

Polisi diam sebentar.

Lantas, istri Kolbuher hanya mengatakan "jangan-jangan ..." tanpa melanjutkan kata-katanya. Selanjutnya, istri Kolbuher memejamkan mata. Seperti menahan sesuatu yang tak terbayangkan dan tak terduga telah terjadi pada suaminya.

***

KEESOKAN harinya, setelah pintu ruang perpustakaan Kolbuher dibongkar paksa, teka-teki yang menimpa Kolbuher terkuak.

TV 24 menyajikan berita: "Seorang pensiunan telah mati ditelan buku-bukunya. Kejadian itu baru diketahui setelah istrinya pulang dari warung. Ketika istrinya pergi ke warung, suaminya sedang mencari buku di ruang kerjanya yang penuh dengan buku. Entah bagaimana, rak-rak buku di keempat sisi ruangan kerja itu ambruk secara bersamaan waktunya dan menimpa orang yang ada di ruangan itu. Korban yang merupakan kolektor buku kesohor di negeri ini bernama Kolbuher."

Beberapa menit kemudian, SMS di HP orang-orang yang pernah meminjam buku dari Kolbuher secara berantai berbunyi. isi teksnya: "Pak Kolbuher sudah meninggalkan kita semua untuk selamanya. Besok kita melayat ke rumahnya, teman-teman."

Koran Pagi menurunkan kepala berita 'Perpustakaan Hidup Itu Telah Tiada'. Pada Akhir disebutkan, "Negeri ini telah kehilangan kolektor buku ulung dan tak ada tandingannya. Ia meninggalkan seorang istri, 4 anak, 12 cucu." Menurut berita itu, "koleksi buku Kolbuher sudah pantas dijadikan museum tersendiri dan dikelola oleh pemerintah dan swasta. Selain itu, Kolbuher pun pantas dianugerahi Bintang Mahaputra Kelas I karena sumbangannya bagi generasi muda. Banyak orang yang meraih gelar sarjana, megister, dan doktor di negeri ini yang pernah memanfaatkan perpustakaan kolbuher. Secara gratis lagi!"

Tabloid Kesohor memberitakan bahwa setelah polisi memeriksa perpustakaan Kolbuher, polisi sampai pada kesimpulan bahwa tiang penyangga keempat rak buku ternyata keropos akibat banjir bandang beberapa waktu lalu. Berita itu ditutup dengan kalimat, "Dengan demikian, sangkaan polisi bahwa istrinya dengan sengaja membunuh Kolbuher tidaklah terbukti."

Rumah Kolbuher memang terletak sekitar 50 meter dari pinggir sungai yang selalu menerima limpahan air dari Bogor-Puncak, yang hutannya banyak ditumbuhi beton dan pohon-pohonnya banyak ditebangi secara liar.

Jakarta, 4 September 2002

Sunday, September 15, 2002

Percakapan Patung-Patung

Cerpen: Indra Trenggono

BULAN sebesar semangka tersepuh perak, tergantung di langit kota, dini hari. Cahayanya yang lembut, tipis berselaput kabut, menerpa lima sosok patung pahlawan yang berdiri di atas Monumen Joang yang tak terawat dan menjadi sarang gelandangan. Cahaya bulan itu seperti memberi tenaga kepada mereka untuk bergerak-gerak, dari posisi mereka yang berdiri tegak. Mereka seperti mencuri kesempatan dari genggaman warga kota yang terlelap dirajam kantuk dalam ringkus selimut.

Lima patung yang terdiri dari tiga lelaki dan dua perempuan itu, menggoyang-goyangkan kaki, menggerakkan tangan, kemudian duduk dan bahkan ada yang tiduran. Mungkin, mereka sangat letih karena selama lebih dari empat puluh tahun berdiri di situ. Wajah mereka yang kaku, dengan lipatan-lipatan cor semen yang beku pun kerap bergerak-gerak seperti orang mengaduh, mengeluh, menjerit dan berteriak. Tentu, hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengarnya.

"Dulu, ketika jasad kita terbujur di sini, kota ini sangat sunyi. Hanya beberapa lampu berpendar bagai belasan kunang-kunang yang membangunkan malam. Kini, puluhan bahkan ratusan lampu, bependar-pendar seterang siang. Negeri ini benar-benar megah," ujar patung lelaki yang dikenal dengan nama Wibagso sambil mengayun-ayunkan senapannya.

"Tapi lihatlah di sana, Bung Wibagso. Kumpulan gelandangan tumpang-tindih bagi jutaan cendol sedang makan bangkai anjing dengan lahap. Dan di sana, lihatlah deretan gubug-gubug reyot menyatu dengan gelandangan yang berjejal bagai benalu menempel di tembok gedung-gedung. Mulut mereka menganga menyemburkan abab bacin serupa aroma mayat, mengundang jutaan lalat terjebak di dalamnya. Ya, Tuhan, mereka mengunyah lalat-lalat itu..." desis patung lelaki bernama Durmo.

Ratri, patung perempuan yang dulu dikenal sebagai mata-mata kaum gerilyawan, menukas, "Itu biasa rekan Durmo. Dalam negeri yang gemerlap, selalu dirawat kemiskinan sebagai ilham bagi kemajuan. Kita mesti bangga, negeri ini sangat kaya. Lihatlah di sana deretan rumah mewah menyimpan jutaan keluarga bahagia. Ada mobil-mobil mewah, ada lapangan golf pribadi, bahkan ada pesawat terbang pribadi... Dan lihatlah di sana, orang-orang berdansa-dansi sampai pagi. Yaaa... ampun malah ada yang orgi..."

Patung Sidik, yang sejak tadi menyidik dunia sekitar dengan mata nanar melenguh bagai sapi di ruang jagal, "Ternyata mereka hanya sanggup mengurus perut dan kelamin mereka sendiri. Aku jadi menyesal, kenapa dulu ikut memerdekakan negeri ini."

"Aku pun jadi tidak lagi pede sebagai pahlawan," timpal Durmo, "Kita bediri di sini tak lebih dari hantu sawah. Ternyata mereka tak sungkan apalagi hormat kepada kita. Buktinya, mereka menggaruk apa saja."

"Kamu jangan terlalu sentimentil. Aku rasa mereka tetap hormat kepada kita. Buktinya, mereka membangunkan kita monumen yang megah," tukas Wibagso.

Tapi kenapa kita hanya diletakkan di sini, di tempat njepit ini. Mosok monumen pahlawan kok cuma dislempitkan," gugat patung perempuan bernama Cempluk, yang dulu dikenal sebagai pejuang dari dapur umum.

Angin bertiup mengabarkan hari sudah pagi. Gelandangan-gelandangan yang tidur melingkar di kaki monumen itu menggeliat. Mulut mereka menguap kompak. Aroma abab bacin yang membadai dari sela gigi-gigi kuning, menguasai udara sekitar. Tercium oleh para patung pahlawan. Sontak mereka serempak berdiri, dan masing-masing kembali pada tempatnya, sebelum keheningan pagi dirajam hiruk-pikuk kota, sebelum udara bersih pagi dicemari deru nafas kota yang keruh.

Dalam posisi asal, patung-patung pahlawan itu terus bergumam. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu menangkapnya.

YU Seblak, pelacur senior yang dikenal sebagai danyang alias "penunggu" monumen itu, duduk takzim di kaki monumen. Tangannya di angkat di atas kepala. Tergenggam dupa yang mengepulkan asap. Kepulan asap itu menari-nari mengikuti gerak tangan Yu Seblak. Ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah. Gerakan Yu Seblak diikuti lima-enam orang yang duduk di belakang perempuan berdandan menor itu. Yu Seblak bergumam meluncurkan kata-kata mantera.

"Aku mendengar ada banyak orang mendoakan kita. Mereka memberi kita sesaji. Ada bunga-bunga, ada jajan pasar, ada juga rokok klembak menyan," Mata Wibagso terus mengikuti upacara yang dipimpin Yu Seblak.

"Kurang ajar! Kita dianggap dhemit! Malah ada yang minta nomer buntut segala! Ini apa-apaan Wibagso!" teriak Durmo.

"Ssssttt. Tenanglah. Apa susahnya kita membikin mereka sedikit gembira. Anggap saja ini intermezzo dalam perjalanan kita menuju jagat keabadian," ujar Wibagso.

"Tapi kalau pahlawan sudah disuruh ngurusi togel itu kebangeten!" protes Cempluk.

"Hidup mereka gelap rekan Cempluk. Mereka hanya bisa mengadu kepada kita, karena yang hidup tak pernah mengurusi nasib mereka. Justru menghardik mereka...," tukas Ratri.

Yu Seblak terus mengucapkan doa dalam irama cepat, diikuti orang-orang di belakangnya. Selesai memimpin doa, Yu Seblak menerima berbagai keluhan para "pasiennya".

"Wah kalau pahlawan disuruh ngurusi garukan pelacur, ya enggak bisa. Punya permintaan itu mbok yang sopan gitu lho..."

"Habis, saya selalu kena garuk, Yu. Jadinya 'dagangan' saya sepi. Ehhh siapa tahu, para petugas ketertiban kota itu takut dengan Kanjeng Wibagso dan semua pahlawan di sini. Tolong ya... Yu..." ujar Ajeng, perempuan berparas malam itu, sambil menyerahkan amplop di genggaman Yu Seblak.

"Yaahhh akan saya usahaken. Semoga saja Kanjeng Wibagso dan rekan bisa mempertimbangken..."

Wibagso tersenyum. Sidik manggut-manggut. Durmo tampak tersinggung.

"Mereka ini payah. Garuk-menggaruk itu kan bukan urusan kita. Mestinya mereka mengadu ke anggota dewan..."

"Ah anggota dewan kan lebih senang kasak-kusuk untuk saling menjatuhkan...," ujar Sidik.

"Tampung saja keluhan itu," sahut Wibagso.

"Tapi urusan kita banyak, Bung! Kita masih harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita selama hidup. Jujur saja, waktu berjuang dulu, aku menembaki musuh tanpa ampun seperti aku membasmi tikus," mata Durmo menerawang jauh.

"Perang memungkinkan segalanya, Bung. Kita tidak mungkin bersikap lemah lembut terhadap musuh, yang mengincar nyawa kita. Kita membunuh bukan demi kepuasan melihat mayat-mayat mengerjat-ngerjat karena nyawanya oncat. Kita hanya mempertahankan hak yang harus digenggam," Wibagso mencoba menghibur Durmo.

"Kita yakin saja, malaikat penghitung pahala pasti mencatat seluruh kebaikan kita," Ratri menimpali.

Dari penjual rokok di seberang jalan, sayup-sayup terdengar warna berita dari radio: "Monumen Joang untuk mengenang lima pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kota Baru melawan pasukan Belanda akan dipugar. Status mereka pun sedang diusulkan untuk ditingkatkan dari pahlawan kota telah menyiapkan anggaran sebesar tiga milyar." Lima patung itu mendengarkan berita dengan takzim. Wibagso meloncat girang. Ratri menari-nari. Cempluk hanya diam terpekur. Durmo masih dibalut perasaan gelisah. Sidik berdiri mematung, meskipun sudah sangat lama jadi patung.

"Kenapa kalian hanya diam? Berita itu mesti kita rayakan!" ujar Wibagso.

"Untuk apa? Aku sendiri tak terlalu bangga jadi pahlawan. Ternyata negeri yang kumerdekakan ini, akhirnya hanya menjadi meja prasmanan besar bagi beberapa gelintir orang. Sedang jutaan mulut yang lain, hanya menjadi tong sampah yang mengunyah sisa-sisa pesta," ujar Sidik.

"Itu bukan urusan kita, Bung. Tugas kita sudah selesai. Kita tinggal bersyukur melihat anak cucu hidup bahagia," sergah Wibagso.

"Tapi jutaan orang-orang bernasib gelap itu terus menjerit. Jeritan mereka memukul-mukul rongga batinku."

"Ah, sudah jadi arwah kok masih perasa."

"Tapi perasaanku masih hidup!"

"Untuk apa memikirkan semua itu. Kalau masih ada yang kurang beruntung, itu biasa. Hidup ini perlombaan. Ada pemenang, ada juga pecundang!"

"Jangan-jangan kamu ini kurang ikhlas berjuang, Bung Sidik," timpal Ratri.

"Kurang ikhlas bagaimana? Kakiku yang pengkor ini telah kuberikan kepada hidup. Bahkan jantungku telah menjadi sarang peluru-peluru musuh. Mereka memberondongku tanpa ampun hingga tubuhku luluh latak bagai dendeng."

"Ooo kalau soal itu, penderitaanku lebih dahsyat. Kalian tahu, ketika aku merebut kota yang dikuasai musuh, puluhan peluru merajamku. Tapi aku puas, karena berkat keberanianku, nyali kawan-kawan kita terpompa dan akhirnya berhasil memenangkan pertempuran. Ini semua berkat aku!"

"Enak saja kau bilang aku," sergah Durmo. "Dalam pertempuran merebut Kota Baru itu, aku dan Sidik yang berdiri paling depan. Menghadapi musuh satu lawan satu. Kamu sendiri, lari terbirit-birit ke hutan dan ke gunung. Dan kamu, tanpa malu, menyebut sedang bergerilya!"

"Tapi akulah yang punya ide untuk menyerang. Aku juga yang memimpin serangan fajar itu!"

"Siapa yang mengangkatmu jadi pemimpin, Wibagso? Siapa? Waktu itu, kita tak lebih dari pemuda yang hanya bermodal nyali. Tak ada jabatan. Tak ada hierarki. Apalagi pimpinan produksi perang!" hardik Durmo.

"Tapi perang tidak hanya pakai otot, Bung! Perang juga pakai otak. Pakai strategi!" Napas Wibagso naik-turun.

"Tapi strategi tanpa nyali bagai kepala tanpa kaki!" kilah Durmo.

"Bung Wibagso," tukar Sidik, "Kenapa kamu sibuk menghitung-hitung jasa yang sesungguhnya hampa?!"

Bulan mengerjap, seperti tersentak. Wajah Wibagso memerah.

"Sidik! Belajarlah kamu menghargai jasa orang lain. Jangan anggap kamu paling pahlawan di antara para pahlawan!"

"Kapan aku membangga-banggakan diri? Kapan? Kamu ingat, waktu berjuang dulu, aku justru menghilang ketika ada Panglima Besar mengunjungi kawan-kawan kita yang berhasil menggempur musuh. Kalau aku mau, bisa saja aku mencatatkan diri menjadi prajurit resmi. Dan aku yakin, ketika negeri ini merdeka, aku mampu jadi petinggi yang bisa mborongi proyek. Tapi, puji Tuhan, maut keburu menjemputku," ujar Sidik.

"Begitu juga aku," sergah Durmo, "Aku berpesan kepada anak-anakku, kepada seluruh keturunanku, untuk tidak mengungkit-ungkit jasa kepahlawananku, demi uang tunjangan yang tak seberapa banyak. Itu pun masih banyak potongannya!"

"Munafik. Kalian ini munafik!" bentak Wibagso.

Bulan kembali mengerjap. Angin terasa mati.

Napas kota kembali berhembus. Jantung kota kembali berdegup. Gelandangan, pelacur dan copet kembali menggeliat. Mulut mereka kompak menguap menyemburkan abab bacin penuh bakteri.

"Aku yakin, kalau monumen ini jadi dipugar, kita akan kehilangan tempat," ujar Kalur, pencopet bertubuh tinggi kurus itu.

"Kita harus turun ke jalan. Kita kerahkan semua gelandangan di kota ini. Kita demo besar-besaran!" timpal Karep yang dijuluki "gelandangan intelektual" karena gemar mengutip kata-kata gagah.

Percakapan mereka dihentikan suara radio milik Yu Seblak yang menyiarkan warta berita: "Drs Ginsir, Kepala Kotapraja yang menggantikan RM Picis, membatalkan rencana pemugaran Monumen Joang. Menurut Drs Gingsir, proyek itu mubazir. Bertenangan dengan azas kemanfaatan bagi publik. Apalagi pengajuan perubahan status menjadi pahlawan nasional, ditolak Tim Pakar Sejarah Nasional. Dana sebesar tiga milyar dialihkan untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat prasejahtera."

Gelandangan-gelandangan sontak bersorak. Mereka menari. Beberapa orang menenggak minuman oplosan alkohol. Bahkan ada yang mencampurinya dengan spritus. Jantung mereka berdetak cepat. Gerakan tubuh mereka semakin rancak, semakin panas.

Bulan pucat di angkasa berselimut kabut. Kota kembali tidur. Tapi di sebuah gedung pemerintahan kotapraja, tampak lampu masih menyala.

"Saya setuju saja, jika Den Bei Taipan mau bikin mall di sini," ujar Drs Ginsir sambil minum anggur.

"Terima kasih... terima kasih. Bapak Ginsir ternyata welcome. Eeee soal pembagian keuntungan, itu dinegosiasikan. Biasanya, 30:60." Den Bei menenggak anggur merah.

"Tapi tunggu dulu, Den Bei. Saya mesti mengusulkan masalah ini pada Dewan. Dan biasanya itu agak lama. Maklum..."

"Eeee bagaimana kalau 35:65. Tidak ada konglomerat gila macam saya."

"Tapi masih banyak konglomerat lain yang lebih gila, Den Bei..."

"Bagaimana kalau 40:60. Ini peningkatan yang sangat progresif."

"Well...well...well... Saya kira Den Bei bisa bikin mall tidak hanya satu. Tanah di sini masih sangat luas."

"Bapak ini ternyata cerdas. Setidaknya, mendadak cerdas."

Keduanya tertawa berderai.

"Den Bei tinggal pilih. Alun-alun, bekas benteng Rotenberg atau di Monumen Joang."

"Semuanya akan saya ambil."

"Terima kasih. Sulaplah kota kami ini jadi metropolitan."

Keduanya berjabat tangan.


***

"PENGKHIANAT! Culas! Licik dan sombong! Penguasa demi penguasa datang, ternyata hanya bertukar rupa. Mereka tetap saja menikamkan pengkhianatan demi pengkhianatan di tubuh kita!" Wibagso menggebrak, hingga tubuh monumen bergetar.

"Mereka menganggap kita sekadar bongkahan batu yang beku. Mereka hendak menggerus kita menjadi butiran-butiran masa silam yang kelam!" hardik Ratri.

Sidik, Durmo, dan Cempluk tersenyum.

"Kenapa kalian hanya diam? Kita ini hendak diluluhlantakkan. Lihatlah buldoser-buldoser itu datang. Berderap-derap. Kita harus bertahan. Bertahan!" teriak Wibagso.

Di bawah monumen, Yu Seblak memimpin penghadangan penggusuran. "Kita harus bertahan! Kita lawan buldoser-buldoser itu! Ajeng, Karep, Kalur, di mana kalian?" teriak Yu Seblak.

"Kami di sini. Di belakangmu!" jawab mereka kompak.

"Kita lawan mereka. Kita pertahankan liang-liang kita. Lebih baik mati daripada selamanya dikutuk jadi kecoa!"

Deru buldoser-buldoser mengepung monumen. Beberapa orang berseragam memberi aba-aba. Buldoser-buldoser terus merangsek.

"Lihatlah, mereka yang hanya gelandangan saja membela kita. Mestinya kalian malu!" hardik Wibagso.

"Wibagso! Kalau kami akhirnya melawan mereka, itu bukan untuk membela kepongahan kita sebagai pahlawan. Tapi membela mereka yang juga punya hak hidup!" teriak Sidik.

"Aku tak butuh penjelasan. Tapi butuh kejelasan sikap kalian untuk melawan mereka Ratri, meloncatlah kamu. Dan masuklah ke ruang kemudi. Cekik leher sopir-sopir itu. Cempluk, tahan moncong buldoser itu. Ganjal dengan tubuhmu. Sidik, dan kamu Durmo hancurkan mesin buldoser-buldoser itu. Cepat!" Wibagso mengatur perlawanan seperti ketika menghadapi tentara-tentara penjajah.

Buldoser terus merangsek. Meluluhlantakkan badan monumen. Menerjang orang-orang yang mencoba bertahan. Kalur, Karep, Ajeng, dan orang-orang lainnya lari lintang pukang.

"Kalian benar-benar pengecut!" teriak Yu Seblak.

"Sia-sia melawan mereka! Mereka ternyata buaanyaakkk sekali!" teriak Kalur.

"Kita menyingkir saja. Pahlawan saja mereka gilas, apalagi kecoa makam kita! Menyingkir... Menyingkir saja!!!" Karep mencoba menarik Yu Seblak yang berdiri beberapa sentimeter dari moncong-moncong buldoser. Tapi Yu Seblak tetap bertahan, sambil terus mengibar-ngibarkan kain dan kutangnya. Tak ada yang menahan Yu Seblak untuk telanjang. Buldoser-buldoser itu dengan rakus dan bergairah menggilas tubuh Yu Seblak. Tubuh kuning langsat itu bagaikan buah semangka yang dilumat blender.

Wibagso tersentak. Ratri menjerit histeris. Durmo dan Sidik berteriak-teriak penuh amarah. Mereka mencoba menghadang buldoser-buldoser itu. Tapi mesin penghancur itu terlalu kuat buat dilawan. Patung-patung itu dilabrak dan dihajar hingga lumat.

Bulan di angkasa mengerjap, Angin mati.

"Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..." ujar Wibagso lirih. Ucapan itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun, dan diresmikan Kepala Kotapraja, Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu terus mengalun. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengar gugatan itu.*


Dikutip Dari : http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2002_09_15_archive.html

Jakarta 3030

Cerpen: Martin Aleida

BONGKAH emas yang menengger di puncak Monumen Nasional sudah lama ditakik dan disingkirkan dari tempat duduknya. Dia digelindingkan begitu saja di daratan. Tak lebih berharga dari segundukan tanah merah. Emas sudah tak bisa mempertahankan kemuliaannya di atas besi atau timah. Anak-anak saja sudah bermain-main dengan lempengan-lempengan emas yang mereka ciptakan dari adonan kimia. Kesemarakan dan lambang kekuasaan sudah berubah makna, paling tidak di kota ini. Yang disanjung orang sekarang adalah gizogasarm, senyawa kimia hasil ekstraksi dari inti api, yang dijadikan bahan mentah untuk memproduksi chip yang bisa menampung data jutaan kali lipat dan dengan kecepatan tak terperikan dibandingkan seribu tahun sebelumnya.

Kata-kata. Karena sifatnya yang bisa ditafsirkan dalam berbagai pengertian, kata-kata sebagai sarana ekspresi sudah ditinggalkan. Sekarang adalah dunia presisi, dengan bahasa ketepatan yang memiliki pengertian tunggal. Bayangkanlah bagaimana pentingnya presisi sepuluh abad yang akan datang, kalau sekarang saja apabila Anda salah memasukkan angka PIN, maka tak sepeser pun yang bisa Anda tarik dari ATM. Pemujaan pada angka membuat manusia kelu. Dan ketika kata-kata hilang dari percakapan mereka, maka burung-burung mengambilalihnya.

Di mulut burung-burung, yang sudah berkicau sejak jutaan tahun yang silam, kata-kata menemukan melodi yang membuai menghanyutkan. Burung-burung berkata-kata dengan ritme yang jauh lebih menawan dibandingkan dengan gelombang percakapan manusia zaman sekarang. Hilanglah sudah kata-kata dari perbendaharaan verbal. Dan bunyi yang tertinggal dalam komunikasi manusia hanyalah ketukan di atas keyboard.

Jakarta terkurung dalam kutukan karena kejahatan kemanusiaan yang didewakannya selama lebih dari tiga dasawarsa menjelang akhir abad keduapuluh. Ingatan kolektif penduduknya bisa lenyap. Tetapi, zaman tak pernah akan lupa bahwa pada waktu itu ratusan ribu orang dibunuh seperti tikus comberan. Anak-anak muda yang ganteng dan manis-manis, yang bercita-cita sangat sederhana, hanya sekedar untuk bisa meludah karena tak tahan mencium bau amis para penguasa yang durjana, diculik dan dilenyapkan rezim bersenjata. Mereka yang membunuh dan menculik tak pernah merasa bersalah. Hukum buat mereka hanyalah angin yang dengan gampang bisa ditepis. Orang yang seharusnya bertanggung jawab dengan lihai menghindar dari hukuman sambil meluncur-luncur di atas kursi roda. Ngelencer kesana-kemari. Aman-aman saja dengan berpura-pura kena encok.

Namun, adil ataupun tidak, zaman tak tertahankan. Dia melaksanakan hukumnya sendiri. Kota jadi terpencil dari alam sekitarnya. Daerah sekelilingnya membalas penindasan yang berpusat di kota itu dengan membangun pagar yang lebih dahsyat dari tembok Tiongkok untuk membuat kota ini terisolasi dari sinar Matahari. Kota terkurung dalam tembok. Orang-orang yang menyimpan dendam kesumat terhadap kezaliman kota ini mengharapkan dia lekas saja mati karena kekurangan vitamin D.

Berita-berita pembunuhan yang saban hari muncul di media massa dalam seribu tahun belakangan ini menunjukkan betapa murahnya harga nyawa. Seakan tak lebih bernilai dari lalat atau belatung. Teknik-teknik pembantaian lebih keji dari yang mungkin dibayangkan. Dan penduduk kota membaca berita-berita seperti itu sebagai sesuatu yang rutin. Emosi mereka tumpat. Hati mereka lebih tersentuh oleh teka-teki silang. Kepekaan menjadi tumpul. Membuat kemanusiaan berada di titik paling rendah. Kaum budayawan berdiam diri, sementara kaum politisi dan negarawan bermain-main mencari keuntungan dari situasi ini. Seribu tahun dalam pemujaan, maka pragmatisme menemukan dampaknya yang paling mencengangkan.

Karet, Tanah Kusir, Jeruk Purut, dan semua lahan pemakaman sudah lama diratakan, dan di atasnya dibangun gedung-gedung berbentuk kubis yang menyundul langit dan berdesak-desakan ke laut. Kota ini sudah tidak mengenal sejengkal tanah pun sebagai tempat pemakaman. Orang-orang kaya, yang hidup di atas angin, menguburkan diri di luar negeri, di Australia atau Afrika. Untuk tetap mensakralkan pemakaman, hanya satu perusahaan yang diizinkan beroperasi: www.kubur.com. Situs tersebut hanya dijalankan oleh seorang pebisnis dengan koneksi yang tiada terhingga dengan perusahaan penerbangan internasional. Delapan menit setelah mengklik home page itu, jenazah sudah dikebumikan di benua yang jadi pilihan.

Kemanusiaan sama dan sebangun dengan nol besar. Dan dia sudah tidak lagi memerlukan nama. Untuk menghindari kematian dini, karena kekurangan vitamin D, orang-orang yang tidak beruntung, yang mempertahankan hidup di komunitas yang pernah jaya seribu tahun sebelumnya, seperti Satu Merah Panggung, Utan Kayu, Garuda, Bambu, Lidah Buaya, dan kelompok-kelompok lain, dijadikan tumbal.

Kapitalisme memang masih harus membuktikan diri bahwa tatanan masyarakat yang diciptakannya merupakan akhir dari peradaban manusia. Tetapi, yang jelas komunitas-komunitas tadi, yang mencoba melawan arus zaman dengan membangun kelompok kehidupan sendiri yang didirikan di atas kebersamaan dan menentukan sendiri apa yang memang benar-benar mereka butuhkan, menemukan diri mereka tersisih, miskin. Kalau sudah tiba saat harus berhadapan dengan ajal, maka mereka diperlakukan tidak lebih dari sampah. Penaklukan orang-orang di atas angin terhadap mereka menjadi lengkap. Mereka dijadikan sumber vitamin D. Gubernur kota merasa telah menemukan kebijakan yang cemerlang dalam upayanya untuk membuat jasad mereka yang tersisih tidak menyebabkan bau busuk yang menyengat kota. Sepuluh detik setelah meninggal, jasad orang-orang tersisih ini sudah dikerek ke pelataran pemusnahan yang dibangun di puncak Monumen Nasional.

Gubernur dan para pembantunya beranggapan sama sekali tidak masuk akal membiarkan mayat berbulan-bulan supaya membusuk dan dimakan belatung di puncak monumen. Maka seratus ekor burung Gazgazammut diimpor dari Asia bagian tengah. Burung-burung yang berparuh besar dan tajam, dengan tembolok yang tak pernah kenyang itulah yang dalam lima menit membuat mayat orang-orang tersisih tadi tinggal tulang-belulang. Balung manusia itu kemudian dikerek turun, dimasukkan ke pabrik pemrosesan khusus untuk menghasilkan kalsium sejati. Dengan tablet-tablet kalsium ini penduduk kota O-besar-kemanusiaan memperpanjang harapan hidup mereka.


Kepekaan penduduk kota semakin majal, sementara kicau burung-burung yang semakin sarat dengan melodi bertambah memilin gita perasaan binatang itu. Dari atas pepohonan yang dibuat dari campuran besi dan plastik yang lentur dan antikarat, di mana mereka bertengger, apalagi pada saat mereka mematuki bangkai manusia yang tersisihkan di pucak monumen, hati burung-burung Gazgazammut mulai teriris-iris oleh ketidakadilan yang sedang berlangsung di bawah cakar mereka. Di kota bawah.

Suatu ketika keseratus burung-burung Gazgazammut terbang serempak dengan ujung-ujung sayap mereka saling menyentuh. Bayang-bayang mereka membuat kota di bawah jadi kegelapan. Seperti ditangkup gerhana. Sambil melayang-layang, menukik tajam, membubung tinggi menerjang langit, mereka memekik-mekik memprotes kezaliman yang dipelihara oleh kota yang terhampar di bawah.

Pada satu situs, seorang penyair memberikan tafsir mengenai apa yang sedang dilakukan oleh burung-burung yang sedang meradang dan menerjang itu. Bahwa, kota ini akan binasa kalau pemusnahan terhadap sesama manusia dalam bentuknya yang paling bengis tidak dihentikan. Tetapi, seperti kode judi hwa-hwe dahulu kala, kata-kata bisa dipahami dalam rupa-rupa pengertian. Makna maupun tafsirnya beragam. Jadi, siapa yang mau mendengar kicau si-penyair. Sementara penguasa kota tak peduli dengan tanda-tanda alam.

Keesokan harinya kawanan burung Gazgazammut mengepak-ngepak berbarengan di atas kota. Jeritan mereka menyebarkan ngeri, memekakkan telinga penduduk. Mereka berputar-putar di atas monumen, di mana dua jasad manusia terletak di atas altar menunggu burung-burung itu melumatkan daging mereka. Namun, burung-burung itu hanya berputar-putar persis di atas mayat. Memekik-mekik. Lantas mereka terbang beringsut menjauhi mayat, kembali ke sarang mereka di pohon-pohon buatan yang ditancapkan di Teluk Jakarta.

"Katakanlah dengan semangat kesetiakawanan, apakah yang kita lakukan ini bisa dimaafkan sejarah," kicau seekor burung Gazgazammut yang ragu dengan perlawanan burung-burung sebangsanya terhadap kebijakan Gubernur kota dan para pembantunya. Suaranya berat dan parau. Menggugah tapi liris.

"Dengan menjunjung tinggi dan atas nama langit ketujuh, kita berhak menolak untuk mematuki jenazah," sambut suara di tengah kerumunan burung itu.

"Tapi itu hanya akan memperburuk keadaan. Membuat busuk dan meracuni angkasa. Membikin manusia yang tersisihkan di kota ini akan terserang kolera dan semakin sengsara."

"Kolera sudah lama dikalahkan manusia."

"Ya, sama seperti TBC atau cacar atau malaria, kolera bisa menyebar kembali di kalangan penduduk. Apalagi pembiaknya adalah mayat manusia."

Seekor dari seratus burung Gazgazammut itu, sambil tegak di atas cakarnya yang kokoh, dengan sayap setengah terentang, mengalunkan suara: "Kita telah dibawa ke kota yang sedang tenggelam dan terkurung ini untuk dijadikan perangkat pemisah antara manusia yang beruntung dan yang tersisihkan. Apakah kita tak boleh mempergunakan hak kita untuk tak terlibat dalam kejahatan kemanusiaan ini? Kuat suara hatiku bahwa kita berhak untuk terbang kembali ke tanah air kita. Ke jantung Asia. Jangan terbetik rasa khawatir barang seujung rambut pun bahwa kita akan tersesat dalam penerbangan pulang." Matanya yang bening tajam menaksir-naksir sikap burung yang lain.

Burung yang kelihatan paling berwibawa itu lantas membujuk: "Aku tahu arus angin mana yang harus kita ikuti untuk sampai ke pohon-pohon yang murni hijaunya, dari mana kita telah dirampas, diperjualbelikan. Kembangkan sayap! Terjang dan ikuti angin buritan ini," katanya membujuk.

Beberapa detik kemudian, rrrruuuuummmm, suara kepak sayap mereka memenuhi angkasa. Taji di kedua kaki mereka yang kokoh bersiung-siung menerjang angin. Kawanan burung itu lenyap ke arah Utara. Tanpa sinar Matahari, mayat di atas monumen membusuk dengan cepat. Kota dicekik bau bangkai.

Sebenarnya, para penguasa tidak menemukan kesulitan untuk menyewa ahli dari luar untuk melenyapkan mayat-mayat kaum tersisih di kota itu menjadi setumpuk abu. Tetapi, masalahnya mereka memerlukan simbol kemenangan atas kaum tersisih. Mereka tak mau kehilangan kepuasan dengan menelan tablet-tablet kalsium yang dibuat dari tulang-belulang orang yang mereka kalahkan. Mereka hendak mempertahankan simbol kejayaan itu. Jadi, mereka membiarkan belatung yang mengerubuti mayat-mayat kaum tersisih. Tanpa menghiraukan protes penduduk.

Saya sendiri sudah lama menyingkir dari kota ini. Bersama teman-teman kami membangun pulau dari bangkai daun dan akar pohon yang hanyut dari hulu Sungai Siak. Sampah alami dari hutan-hutan yang dibabat ratusan tahun yang lalu cukup untuk membangun sehamparan daratan di mulut Sungai Siak yang selalu ternganga sampai ke tepi laut yang tak tampak. Semut sudah sirna dari kulit bumi, kecuali di wilayah aliran sungai ini. Perut mereka yang rata-rata sangat ramping, ditambah lagi dengan kesukaan mereka bergotongroyong, dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap keserakahan. Ini ejekan permanen. Karena itu harus dibasmi. Beginilah aksioma zaman sekarang: kebajikan justru membawa bencana. Maka, pulau buatan yang sederhana ini kami namakan Pulau Penyemut, untuk mengabadikan kearifan semut yang mengilhami. *



Dikutip Dari : http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2002_08_25_archive.html

Selasa, 02 Juni 2009

Cinta Tak Slalu Indah

Wuihhhh panas bgt Jakarta Ini....

Priiitttt....suara peluit berkumandang dari arah depanku...

setelah kulihat pelatih basket yaitu pak Tomi berlari kecil ke arahku...

"Rico kamu ini gimana sih main hari ni?"

"maaf pak, saya kurang konsen hari ni"

"Rico klo kamu sakit bilang dong"

"baik pak"

"ok, sekarang kmu ganti baju dan istirahat di rumah"

"iya pak"

aQ pun langsung mengganti baju, dan bergegas akan pulang dan istirahat. Tiba" saja ada seorang cewek datang dan memberikan aQ minum.

"kak Rico knp tadi, di marahin pak Toni yach?

"iya nih, nes..."

oh ya dia adik kls Q nama nya Agnes yg dulu sering aQ jahili, tapi dia seneng aQ jahili. coz na jahil na menyinggung kecantikan dia sih...

"sekarang kk mw kmna?"

"mw pulang nes"

"klo gitu kita sama ya kak?"

"boleh"

di perjalanan aQ dan Agnes cerita banyak ttg ekskul yg dia ikuti.

"ngomong-ngomong ekskul kmu di paskibra gmna?"

"owh, agak dikit kesel sih kak"

"emng knp?"

"iya tuh kak andre terlalu bgt sama aQ, masa aQ di biarin di jemur di panas"

"hahaha, iya dia emang bgtu klo ngeliat adik kls yg cantik kyak kmu"

"agh kk bisa aja...."

"ya udah deh, sekarang kk ke arah kiri, rumah kmu ke arah kanan kan?"

"iya kak"

"sampai besok ya nes..."

"sampai besok jga kak"

Hari ini aQ istirahat hingga sore. aQ ga mw besok kna marah lagi sama pelatih Q gra" kurang baik main bola basket nya...

***

Ting...Tong....

suara bell pulang sekolah berbunyi. aQ berlari ke ruang ganti baju. Di depan ruang ganti baju itu ternyata Agnes menunggu aQ.

"kak yg bagus ntar main nya ya"

"beres nyonya"

"hahaha, kk bsa aja"

"hehehehhe, kmu kasi suport ya di latihan kk nanti"

"beres kak"

Latihan kali ini aQ sungguh segar bgt, kmarin tidur nyenyak bgt. di luar lapangan aQ liat Agnes memberi semangat ke aQ sambil melambaikan tangannya ke aQ. Rasa nya hari ini aQ fress bgt, rasanya perasaan aQ dgn Agnes mulai ada....

"kak semangat!!!" kulihat Agnes melambaikan tangan nya....

"sipppp!!!" aq berikan ibu jari ku ke arah dia....

ga terasa sore hari dah menjelang, kini Agnes datang memberikan minum dan membasuh keringat Q.

"makasih ya nes"

"iya kak"

kulihat wajah Agnes yg putih kini terlihat memerah. sepertinya dia malu sama aQ. aQ raih tangan nya yg sedang membasuh wajah Q.

"nes tau ga selama nih kk suka sama kmu"

"kk serius?"

"serius" kta Q sambil kupegang kedua tangan nya erat"

"sebenarnya aQ takut kak?"

" takut apaan?"

"ya takut kehilangan kk"

"yah... kk kira apaan...."

ku rangkul badan nya, trus aQ jitak kepalanya....

"aduh" jerit Agnes pelan.

"hahaha, makanya jgn suka bikin orang deg-deg-an dong...."

hari ini rasanya seru bgt di temenin Agnes berdua di depan ruang ganti baju. banyak canda n tawa di hari ini. kini aQ dah mulai pacaran dgn Agnes, kami terlihat sangat kompak di mata tmn" yg lain. walau kadang" kami ada konflik dikit tapi aQ ga pernah ngomel" sma dia.... paling" dia ngomel dikit trus kelar deh...

hari" yg berlalu kami jalani berdua. sampai suatu hari, tepat pada hari valentine, disaat itu kami akan pergi ke sebuah taman yg ada di pusat kota... dengan sebuah sepeda motor kami pun berangkat. di tengah perjalanan tiba" saja sebuah kendaraan umum berhenti tiba".... "bruakkkkk....." .......

aQ ga sadar di sini... hanya suara sirene yg hanya Q dengar.... tiba" semuanya gelap...

***

Ketika Q sadar Q hanya mencium bebauan Obat...dimana aQ? apa yg terjadi DiSini? Kulihat Kedua orang tua Q memegang erat tangan kiri Q.

Bu...Yah....knp dgn aQ??? begitu ku lontarkan pertanyaan Q ke empat mata yg memandang Q meneteskan air mata...

"Agnes nak..."

"knp dgn Agnes...bu....yah???"

"dia meninggal dalam perjalanan k rumah sakit nak..."

deg...deg...deg... tidak ada suara yg Q dengar... hanya sayup" Q dengar suara"....

apa ini mimpi??? kalau ini mimpi lekaslah terbangun dalam hati Q. ini pasti bohongan... ini pasti cuma mimpi... hanya itu yg ada di benakku saat ini....

"Agnes .... ga mungkin kan bu????"

kedua orang tua Q hanya diam sambil meneteskan air mata.

aQ bergegas bangun... tapi....

"aw..." sentak ku.

"hati" nak kakimu cedera" ujar ayahku sambil menahan Q supaya kembali berbaring.

"sekarang Agnes dimana yah???"

"jenazahnya sudah di makamkan tadi siang"

"apa??? berarti aQ ga bisa liat dia untuk terakhir kalinya yah???"

kedua orang tua Q hanya diam, sedangkan ibu Q dari tadi hanya ter isak" menangis menahan air matanya.

Cowo macam apa aQ??? untuk menjaganya saja ga bisa, sekarang untuk melihat untuk terakhir kali nya aja ga bisa...

"ini hukuman atau cobaan?" dalam hati Q.

langit" kamar tempat aQ berbaring bagai berputar. semua gelap...gelap... tak ada yg bisa dilihat. hanya seberkas cahanya tiba" muncul dah menyapa Q penuh damai.

"Agnes .... Agnes...." di dalam kegelapan itu Q lihat Se sok-sok wajah Agnes yg tersenyum pada Q, dan coba menghibur Q.

***

udah 3 tahun berlalu setelah kejadian itu. kami sekarang pindah keluar kota. kata orang tua Q selama aQ ada di jakarta aQ slalu bermimpi tentang Agnes, Oleh sebab itu ayah Q berkesimpulan agar kami pindah k Bandung, emang sih ga terlalu jauh, tapi itu memang membuat aQ melupakan kejadian itu.

Sekarang aQ baru masuk perkuliahan... oh ya aQ masuk ITB, wuihhh.... seneng n bangga loh bisa masuk sini. di sini banyak teman" yg pintar yg bisa bantu aQ dalam semua perkuliahan... walau kadang" Quiz yg di berikan dosen kpd aQ cukup sulit, jadinya ya ngopek deh...hehhehehe....

***

sekarang masuk ke smester 4, aQ disini menjadi panitia ospec, ospec kami hanya pergi jalan" bersama cama n cami alias calon mahasiswi dan calon mahasiswa...kami menyewa 5 bus besar, kebetulan yg masuk ITB lumayan banyak. sebagai pemandu aQ Berada di dalam bus paling depan. dan panitia" yg lain ada yg di bus no 2, 3, 4, n 5. semua persiapan sudah kami bawa...mulai dari ransel yg gede, kotak p3k, ya lumayan banyak deh.

***

"wah....sampai juga..." gumam Q.

sekarang waktunya berkumpul dan absen. ketika aQ memmanggil satu persatu nama" cami dan cama kulihat sesosok yg ga asing lagi Q lihat... Disini aQ berhalusinasi mungkin ya??? dalam hati Q. ya dia Agnes....Mirip bgt, ga jauh beda dgn wajah nya yg dulu? tapi dia kan... agh ini sih halusinasi aQ doank....

“Ok sekarang kita kumpul buat tenda….Yang cami membersihkan sampah-sampah dan dedaunan di halaman ini, dan cama mencari ranting-ranting dan kayu penyanggah untuk tenda” Ujar Q penuh semangat.

Ya kapan lagi bias nyuruh orang banyak kayak gini…hehehhehe…

“Eh…kamu…ssiapa nama kamu?” sorak Q memanggil seorang cami dari kelompok bekerjanya

“Nama saya Agnes kak” Ujar Nya.

Serrrrrrrrr……….Deg….deg… serasa darah Q mulau memuncak dan serasa terkejut ketika dia menyebutkan namanya.

“Nama Kamu Agnes?” Ujar Q dgn suara lirih.

“Iya kak, emang nya ada apa ya kak?” Ujar Gadis Itu.

Agh… ini mungkin kebetulan saja…ya kebetulan mungkin namanya Agnes. Terlihat aQ mulai terbengong sambil melihat paras Wajah nya.

“kak…kak…ada apa kak?” Agnes melambaikan tangan nya kearah wajah Q sambil terlihat wajah Agnes yang heran melihat Q.

“eh…sorry…ga ada apa-apa kok, Ntar siang setelah makan siang kakak mw bicara sama kamu, boleh ga ya?” Ujar Q.

“Boleh kok kak…” Terlihat simpul senyum dari wajah Agnes.

“Ya sudah sekarang kamu bantuin temen-temen kamu”

“Ok kak…”

Waduh itu tadi apa ya? Itu cewe apa hantu? Hahahaha…ada-ada aja… “Eh…tunggu…coba aQ lihat dulu ah daftar absent dan profil setiap calon mahasiswa dan mahasiswi”.

“Oiii…Indah… Coba lihat daftar absen” Sambil melambaikan tangan memanggil Indah, Indah merupakan Sekretaris dalam Ospec ini.

“Ok Rico…Tunggu Ya…” Dia berlari kecil menghampiri tasnya yg ga jauh dari dia berdiri.

“Ini…Emang untuk apa?” Indah menyodorkan Daftar Absen Kepada aQ.

“Ga untuk apa-apa…aQ mw lihat Profil setiap mahasiswa dan mahasiswi, ya udah makasih ya.” Tangan Q menerima Absen yang diberikan Indah.

aQ lihat lembar demi lembar dan sampai ke profil punya Agnes. Q lihat tempat dan tanggal lahir. Jakarta, 8 April 1990. Waduh Ini Ga mungkin…aQ mulai yakin Ini siapa. “Ok Nanti setelah selesai makan aQ pergi dengan Agnes” ujar Q dalam Hati.

***

Wah… kenyang…akhirnya selesai juga makan nih…sekarang aQ ingat abis ne mw ngapain lagi. Kuliaht Agnes juga sudah kelar makan nya. Agnes jalan kea rah Q.

“Ya kak tadi ada apaan?”

“Yuk kita jalan-jalan dulu sambil cerita” sambil berdiri dan membawa perlengkapan seadanya.

“Eh…Rico mw kmana nih?” nada yg dikeluarkan teman-teman aQ pasti ga asing lagi tuh…biasa mak comblang.

“Mw jalan-jalan dulu, kalian lihat anak-anak ya” ujar Q sambil tersimpul malu.

“cieee… jalan-jalan atau apa???” Sorak mereka dan terdengar juga siulan-siulan usil.

“alah…kalian tenang aja, cumin jalan-jalan doang”

Waduh pasti ntar di kampus ada gosib baru nih. Blon lagi baru-baru ini aQ di kejar-kejar temen Cewe di kuliah. Wah brabe nih urusannya. Ya udah lah ga usah di pikiri, sekarang mw ngungkap dulu sebenarnya ini siapa.

***

Kebetulan Nih pemandangan nya asik di sini. Ada danau kecil. Ya udah kami duduk-duduk dulu dan mulai dengan pertanyaan Q ke Agnes.

“sorry dek yak lo kakak ganggu waktu dengan temen-temen nya”

“Ah nggak kok kak, lagian tadi juga kami sebenarnya mw jalan-jalan juga, trus keingat yg kakak bilang tadi, mw ngomong sama Agnes”

“Gini…hmmm mulai dari mana ya?” ujar Q

“ Ya dari mana aja kak…hahahha aneh nih kakak” Agnes tertawa manis.

“kamu lahir dimana?” Ujar Q mulai serius dengan pertanyaan Q.

“klo Agnes lahir di Jakarta, emang knp kak?”

“kamu berapa bersaudara? N sekarang tinggal di mana?

“Agnes anak tunggal kak, sekarang Agnes tinggal sama Ortu di Bandung”.

“Boleh kakak main-main ke rumah Agnes?”

“Eh tentu boleh kak” Q lihat Senyum yang ga asing lagi semenjak Sma dulu.

Ya aneh tambah bingung juga sih…klo emang dia Agnes..masa dia ga kenal aQ? Dalam hati Q ingin aja Q cerita-in apa yang ada di benak Q….tapi ya ntar aja deh… akhirnya selesai juga jalan-jalannya. Kami telah sampai di perkemahan.

“ehemmm….kemana tuh tadi?” teman-teman Q tersimpul nakal melihat Q.

“alah udah lah ga usah urusi orang… sekarang suruh anak-anak kumpul, kita bagi tugas lagi” ujar Q melarikan pembicaraan.

“yeeeeee…baru aja kami istirahat sekarang disuruh kumpul lagi” terdengar omelan teman-teman.

“udah buruan ntar keburu malam”

“ok…ok…(huuuuuuuuuuu)” terdengar teriakan lagi.

***

“semua udah ngumpul, sekarang waktunya absen, Indah sekarang kamu absent… kalau-kalau ada yang hilang tuh”

Ku perhatikan sekeliling, ternyata Agnes di tengah, ya…Q pandang aja dia…abis dah lama ga liat orang semanis dia…hahahaha…dasar mata cowo ya emang gini.

“oi rico…” kurasakan pukulan keras k arah bahu Q.

“aduh… ya ada apa” Q keluarkan suara setengah berteriak.

“gimana sih, kamu suruh aQ absent sementara kamu bengong mulu”

“huuuuuuuuuuuuuuu” sorak semua orang yang meluhat Q

“Iya-iya sorry deh…” Wajah Q merah nih pasti…malu jadinya.

“semua ada kok Rico” ujar Indah.

“Ok sekarang pembagian tugas, Kelompok besar ini di bagi 4, 2 kelompok cama dan 2 kelompok cami, kelompok cama pertama ambil air masing-masing 1 orang 1 ember. Kelompok kedua cama mencari ranting-ranting untuk melengkapi ranting yang tadi untuk api unggun nanti malam. Kelompok pertama cami kembali menyapu halaman kemah kita, kelompok kedua cami menyusun ranting-ranting dan ember air yang dibawa cama nanti”.

“Ok pembagian tugas udah selesai, untuk panitia mohon anak-anaknya dijaga, liat jangan ada yang bermain-main ya”

“siap….komandan!” teriak teman-teman Q.

“sekarang ayo Kerja!!!” Teriak Q.

***

Duh....Cape nih, akhirnya kelar juga buat kemahnya. sekarang waktunya susun acara. hmmmm...apa ya? oh ya main gitar sambil nyanyi buat lingkaran trus duduk dekat api unggun. ok nih dia yang dinamain ospec sambil kamping ni....hahahaha....

"ayo cama...cami... sekarang kita duduk buat lingkaran" ujarku sedikit berteriak.

"ok kak..." terdengar seruan cama dan cami.

"dul, kamu main gitar ya" kebetulan temen aQ 1 ne jago main gitar.

"sementara kak bedul main gitar, kita nyanyi rame-rame ya?...." ujar Q pada semuanya.

"yah...masa kami juga ikut nyanyi...kakak dulu donk!" terdengar suara cama yang duduk di depan Q.

"waduh...disuruh nyanyi pulak nie..." (gumam Q dalam hati).

"ayo...ayo...ayo... ayo kak rico!!!!!" suara mereka semua seakan-akan menyudutkan Q.

"ok...ok... gini aja kita buat permainan, semua kedapatan nyanyi satu persatu, gini ketentuannya, setelah kk nyanyi...kk nunjuk 1 orang, trus yg di tunjuk ga boleh nunjuk orang yg udah nyanyi, jadi setelah semua ketunjuk nyanyi...kita nyanyi rame-rame...Gmna?" ujar Q.

"boleh tuh kak" seruan mereka semua yg dari tadi mendengar penjelasan Q.

suara deruan gitar dan nyanyian kami begitu merdu di tengah malam yang dingin... hingga waktunya kami tidur. oh ya...tadi tau ga siapa yang aQ tunjuk? hahahahaha tentu pembaca sudah tahu kan? ya....Agnes.. dia malu banget tuh... apa dia bisa tidur malam ni? coz na aQ juga kepikiran dia.... ah...mustahilll ga mungkin... lama Q memikirkan itu, kini malam makin sunyi hanya terdengar suara burung hantu di malam hari...tenang...tenang.... sampai aQpun tertidur...

kringgggg....kring..... suara jam walker membangunkan Q... langsung aka bergegas aQ bangun dan membangunkan panitia yg lain... Q ambil megaphon (toak) trus Q berteriak...

"BANGUN!!!!!"

"AaaaaaaaaaaAAAAAA.... ah gila loe rico.... ini sama aja bunuh kami nih..." mereka spontan lompat karena suara yang keras.

"hahahaha... dah jam berapa nih... liat nih dah jam 7..." Q perlihatkan jam walker yg ada didekat Q.

"emang knp klo jam 7?" ujar salah satu teman Q.

"kalian ga mw ngerjain cama sama cami tuh? katanya mw ospec kok malah tidur molo?"

"eh...iya... ayo...ayo..." ujar bedul.

"BANGUN!!!....BANGUN!!!..." teriak semua panitia ke masing-masing kemah.

"AYO SEMUA CUCI MUKA, TRUS SIKAT GIGI KALIAN!!!" teriak Q dengan keras.

"Huuuuuuuuuu...." suara teriakan anggota ospec.

Melihat pagi ini yg begitu ramai, kami selaku panitia memberikan hukuman kepada semua cama dan cami.... sebenarnya ini bukan hukuman sich, coz nya klo di bilang di hukum sich ga ada yg salah... ya, ini sebuah ciri khas mahasiswa di negara kita, ketiak menerima calon baru.

semua permainan dan hukuman kami berikan ke semua peserta ospec. tidak ada yg mengeluh, mereka senang, mereka ga menyesal ikut ospec bersama kami. wah...senang nya, bisa memimpin sebuah kelompok tanpa suatu kesulitan.

***

Ospec dah kelar. sore ini kami memutuskan untuk pulang. kami bergegas membereskan tenda-tenda, tebaran ranting-ranting, kami ga mau ntar orang lain terganggu akibat sampah-sampah yang kami tinggalkan. semua dah beres dan kami siap untuk berangkat. perjalanan yang cukup melelahkan membuat badan Q terasa sakit, dan membuat tidur Q kali ini begitu nyenyak.

Tiga hari lagi kami mulai masuk kuliah. mungkin sebelumnya aQ bisa belanja buat keperluan Q memasuki perkuliahan. Eitzz... juga ga lupa mungkin aQ bisa datang ke rumah Agnes, Hmmm ya... anak Ospec yang pernah aQ ungkapkan sebelumnya.

udah berjam-jam aQ belanja, waduh hampir lupa ke rumah Agnes. Dengan berkendaraan Mobil, aQ mulai menambah kecepatan... hehehhe biasa anak muda, klo ga cepat ya ga seru. di tengah perjalan... mobil Q terguncang, aduh knp tuch... Q rendahkan kecepatan dan berhenti... Ketika Pintu mobil Q bukan dan Q lihat ke arah bawah... "yahhhhhh..... Ban Mobil Q kempes... waduh.... di mana nih ada tambal ban?... terpaksa aQ sendiri dulu deh yg mengganti ban nya." ujar Q.

***

"Akhirnya kelar juga, sekarang berangkat ke Rumah Agnes" ujar Q pelan.

sekitar 15 menit akhirnya sampai juga aQ di depan rumah Agnes, Q tekan bell depan rumahnya sambil bersiul-siul sedikit, padahal jantung ne deg...deg-an.

"eh.. kak Rico, yuk masuk... sendiri aja nih kak?" ujar Agnes yang tersenyum k arah Q.

terasa sangat degup jantung ini ketika Agnes mengeluarkan kata-kata itu, persis sekali dgn Agnes yang aQ kenal dulu.

"kak...hallow...." Agnes membentak Q sedikit.

"eh... iya, sorry nes melamun dikit" ujar Q tersimpul malu.

waduuuuhhhh... blon apa" udah kayak gini...

"ya udah masuk yuk..." ujar Agnes sembari mempersilahkan masuk ke rumah nya.

aQ pun masuk ke dalam rumah Agnes cukup luas dengan dekorasi ala rumah belanda jaman 45 dulu, tapi ini beda, sudah bercampur dengan dekorasi yang modern, kelihatannya bangunan ini baru di buat sekitar 3-5 tahunan begitu, terlihat sich beberapa bagian dari bangunan itu masih baru.

"nes, baru yach tinggal di sini?" ujar Q.

"klo seingat Agnes sich udah 5 tahun gitu..." jawab Agnes seraya berfikir.

"owh..." ucap Q membalas jawaban nya.

"emang nya knp yach kak?" tanya Agnes.

"owh , Gpp kok... Di sini kamu tinggal sama siapa?" tanya Q lagi.

"Agnes tinggal sama mama dan papa" jawab Agnes.

"sekarang mreka di mana?"

"Mereka sekarang di kantor, mungkin bentaran lagi pulang"

"owh..." gumam Q pelan.

"kakak mw minum apa nih?" ujar Agnes menawarkan minuman.

"hmmmm,,, apa aja yang ada dech" ujar Q seraya memandang lukisan-lukisan yang ada di dinding.

ketika melihat ke semua penjuru, kulihat sebuah foto dengan senyum seluruh anggota keluarga. aQ terkejut melihat kedua orang tua Agnes, mereka mirip sekali dengan kedua orang tua Agnes yg aQ kenal dulu. sekarang aQ dapat menyimpulkan, bahwa Agnes yang sekarang adalah Agnes yang dulu. tetapi mengapa Agnes tidak mengenali aQ? tetapi mengapa orang Tua Q melakukan ini kepada Q? semua pertanyaan ini kini menyiksa batin Q, menyksa perasaan Q, aQ hanya terpaku melihat Foto itu, dan beranjak duduk dengan pandangan kosong lurus ke depan.

ding...dong...ding...dong...

suara bell terdengar, Agnes yang membawa minuman Q, berlari kecil meletakkan gelas yang berisi minuman dingin dan berlari ke Pintu depan.

"sebentar kak, mungkin papa n mama nih yang datang" ujar Agnes sambil berlari kecil.

aQ ga bisa bicara apa2 bahkan untuk mengatakan huruf "a" saja aQ ga sanggup. yang kini di benak Q adalah pertanyaan2 yang menekan batin Q. Perasaan yang jengkel karena di kelabui, perasaan yang sedih karena seseorang yang aQ cintai tidak mengingat aQ lagi.

"nak Rico?"

ibu Agnes terkejut melihat Q di depan nya.

"mama knl kak Rico?" tanya Agnes penasaran.

aQ pun berdiri dan berbicara dengan ibu Agnes.

"knp tante melakukan hal seperti ini? apakah rico yang telah membuat Agnes kecelakaan hingga tante berbohong tentang keadaan Agnes?" kata Q dengan suara lirih.

"maafkan kami nak, kami tidak pernah berbohong, kami lakukan ini semua untuk kebaikan kamu, untuk kebaikan Agnes juga" ujar Ibu Agnes kepada Q.

"tapi knp harus begini jadinya tante?"

aaaaaaaaaaaaa.......... teriak Agnes menghentikan pembicaraan kami. Kedua tangan Agnes memegang erat kepalanya. Q liaht Agnes akan jatuh, dengan sigap aQ pun menopang badan nya.

Nes...nes... teriak aQ, ibunya...

"ada apa mam?" teriak ayah Agnes berlari kearah kami.

"nak rico?" ayah Agnes juga terkejut melihat aQ.

"udah pa, nanti saja ngobrol nya, sekarang kita bawa Agnes ke rumah sakit" terdengar suara ibu Agnes dengan suara cemas.

aQ gendong tubuh Agnes kedalam mobil, ayah Agnes membawa mobil, Ibu Agnes dan aQ berusaha membangunkan Agnes.

akhirnya kami sampai ke rumah sakit, dengan sigap perawat membantu Q, dan melarikan Agnes kedalam sebuah ruangan, kami tidak boleh ikut kedalam ruangan itu. kembali aQ teringat bau rumah sakit yang dulu pernah aQ hirup sebelumnya. Kini hati aQ merasakan sedih kembali, "ya Tuhan jgn kau ambil Agnes lagi dari Q" ujar Q dalam hati. kulihat Ibu Agnes menangis terisak-isak dan Q lihat ayah Agnes memeluk istrinya dengan erat.

tidak lama kemudian seorang dokter keluar, menghampiri Ayah dan Ibu Agnes.
"Selamat Sore Pak...Bu... apakah Ini keluarga dari saudari Agnes?" Tanya Dokter.
"iya Dok.." sahut Ibu Agnes.
"Untuk Saat ini kondisi saudari Agnes buruk, saat ini dia slalu memanggil nama kak Rico..."
"Oh... Ini nak Rico..." sahut Ibu Agnes.
"Apa yang terjadi tante? ada apa dok? apakah saya boleh melihat Agnes?" Suara Q sedikit memaksa.
"Oh silahkan, dan keluarga yang lain mohon tunggu di Luar" jawab dokter.
"Baiklah dok..." Jawab ibu dan ayah Agnes.

Q masuki Ruangan dimana Agnes Di rawat di atas Sebuah tempat tidur. Q dengar suara Agnes yang lirih terus memanggil nama Q.

"Nes...Nes... kk d Sini..." Q keluarkan Suara walau berat untuk melihat keadaan Agnes.

dengan sedikit merintih dan memanggil nama Q, Agnes mencoba membuka matanya.
"kak Rico... kemana aja Selama Ini? Agnes rindu banget sama kk..."
"kk di sini aja kok... emang Agnes kmna aja?" ujar Q Meneteskan air mata.
"kok Agnes di sini sih kak? emang knp angnes? dan knapa kk Nangis?"
"Agnes tadi jatuh...kk ga nangis kok...." aQ mengusap Air mata yang kini mengucur.

Tdak lama Kemudian Ayah dan Ibu Agnes di perbolehkan masuk.

"Agnes... Maafin mama dan Ayah ya..." Ucap Ibu Agnes yang dari tadi tidak berhenti mengucurkan air mata.
"Knp mama nagis? Agnes ada salah sama ma? tapi kenapa mama yang minta maaf?" Ujar Agnes.
"Maaf Kami telah menjauhkan kami dengan Nak Rico" Ujar Ibu Agnes.
"Emang salah Kami apa ma? Kenapa mama misahin kami?" Ujar Agnes.
"kamu itu Memiliki Marga yang sama dengan nak Rico, Kamu itu Seperti Saudara Kandung, dan sebenarnya Kami adalah Mama dan Ayah angkat Kamu Agnes" Ujar ibu Agnes sambil terisak-isak.

aQ terkejut... Kenapa semua harus sekarang di beritahu? kenapa ga dari dulu? Q pegang erat tangan Agnes... "apa yang aQ lakuin? knp aQ pacaran dengan adik aQ sendiri?" kini aQ merasa bersalah....

"Mama kenapa harus Sekarang memberitahukan semua ini?!" Ucap Agnes dengan setengah Suara.
"Maafin Mama dan Ayah ... " terlihat wajah yang penuh penyesalan dari seorang Ibu.

Kini Agnes mengucurkan Air mata, Q lihat Suara dan Nafas Agnes yang ga Beraturan. "dok... Dok... Tolong Dok...." Ujar Q panik seraya tetap memegang tagan Agnes.

"kak Makasih yach udah mw singgah di hati Agnes, Mungkin Kelak Kita bisa berjumpa lagi, di lain kehidupan.."
Setengah suara dan nafas yang ga beraturan terasa di dekat Q.
"Agnes ga boleh ngomong kayak gini!, Agnes harus kuat!, Agnes yang kk kenal yaitu Agnes yang Kuat dan Ceria." aQ mencoba memberi motivasi.
"Maafin Agnes Bila Harus pergi sekarang, Agnes udah seneng kk ada di samping Agnes"
"ga boleh Nes... ga boleh..." Q pegang tangan Agnes dan meletakkan nya di kening Q.

aQ menangis Luar biasa... aQ ga tau apa yang terjadi kali ini.
Q dengar dokter dan perawat mencoba memberikan bantuan... aQ terus memegang tangan Agnes. dan Q lihat Ibu dan Ayah Agnes menangis melihat Anaknya Terbaring lemas...

"Maaf kan Kami, Kami sudah berusaha." terdengar suara dokter yang lirih berkata kepada kami di ruangan itu.

"Agnes........!!!!!!!" Teriak Q sambil memeluknya, Kini Q rasakan Badan Seseorang yang terkujur lemas, Q mengusap air mata yang masih membekas di pelipis mata Agnes.

Suara Tangisan di ruangan itu seperti mengantarkan Cinta Q dan Agnes ke Dalam Dunia yang begitu indah Di Surga Sana

THe End